===
Bila kita definisikan sederhana bahwa intelektual adalah orang yang melek belajar dan terpelajar, maka sesungguhnya kita memiliki banyak potensi intelektual, dengan beragam tipikal dan tingkatnya.
Baik yang diukur dalam skala pendidikan Islam  pesantren (murni) atau yang diukur lewat pendidikan formal hingga jenjang sarjana (arti sarjana adalah terpelajar).
Atau mereka yang menjadi intelek secara non formal, lewat interaksi pengalaman dan penghayatan terhadap tanggung jawab akademik dan sosial.
Masalahnya, cukupkah label intelek itu dengan sematan "gelar" tamat sekolah semata? Inilah yang kemudian menjadi kegamangan sosial, saat para lulusan itu tak terserap oleh dunia kerja: apalagi saat adaptasi pandemi ini, setidaknya hingga dua atau lima tahun ke depan.
Artinya kita bukan menafikan "intelektual  yang kemudian menjadi pekerja". Tapi seberapa banyak sikap dan tanggung jawab intelek itu tampil dalam wujudnya? berupa kontribusi lebih, inovasi dan akselerasi kebudayaan kita?
Kebudayaan yang kita maksud adalah kebudayaan berbasis nilai normatif lokal dengan segenap romantisme, cita rasa dan kekhasannya di Indonesia.
Lalu kembali ke poin di atas, kemana kaum intelektual itu? sebagian menyebut mereka sibuk di menara gading pengetahuannya.
Mereka sibuk di ruang ruang Lab dan kampus kampus untuk beragam kepentingan, yang secara ekspilit belum mendongkerak level pendidikan kita di skala dunia.
Sebagian lagi masuk ke dunia kerja dengan ragam tantangan dan dinamikanya, tenggelam dalam rutinitas dan kebiasaan "robotik", kebiasaan berulang. Hingga mematikan semangat kreatif, meneliti dan mengembangkan problem solving secara terencana dan berjangka panjang.
Lalu sebagian lain, tergerus dalam pergulatan keseharian dan usaha usaha idealisme tertentu. Terutama bila dikaitkan dengan capaian finansial. Intelektual dalam kelompok ini relatif sunyi dan mungkin terpinggirkan, walau bisa saja peran mereka lebih signifikan dan langsung ke denyut masyarakat kebanyakan.
Sesungguhnya, tidaklah disebut intelek, bila semata hanya terlibat dalam dialektika individualisme dan sedikitpun tak memerhatikan kontribusi dan tanggung jawab sosial. Apalagi sampai mengabaikan kehidupan Akhiratnya yang Abadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H