Kenalan saya, seorang lelaki berperawakan sedang dan bekerja sebagai pedagang. Ia menyukai belajar agama dan berdiskusi sepanjang waktu tentang agama. Tema diskusi dari hal-hal sepele dalam agama, seperti ritual-ritual yang rutin dilaksanakan hingga hal-hal filosofis seperti tentang keterlibatan Tuhan dalam tindak tanduk manusia.Â
Sembari berdagang ia bisa berdiskusi berjam-jam menyangkut pemikiran agama atau doktrin-doktrin agama yang perlu diperbaiki. Ia mengagumi sejumlah tokoh agama dengan pemikiran revolusioner. Dibandingkan saya, ia jauh lebih menguasai detail pemikiran dari tokoh-tokoh agama yang pernah melahirkan gagasan-gagasan besar. Sangat menarik jika berdiskusi dengan kawan ini. Pengetahuan saya bertambah secara bermakna.
Sekali waktu ia menelpon saya. Menyampaikan bahwa kondisi tubuhnya kurang fit dan tampaknya sakit. Ketika bertemu ia bercerita banyak hal tentang sakit yang dialaminya. Pendek cerita, saya menduga ia menderita persoalan mental semacam depresi dan perasaan tidak berdaya. Terlampau banyak persoalan di sekitarnya yang membuat ia kehilangan daya merespon dan menanggulangi persoalan itu.Â
Dengan menggunakan skala stres Holmes dan Rahe (1967) saya menemukan angka antara 40-80. Ini artinya, sumber perasaan tak berdaya itu---disebut stresor---berada pada rentang cukup berat. Pukulan yang dialaminya dapat dikatakan sebagai pukulan telak bagi seorang yang tidak cukup memiliki ilmu pertahanan diri menghadapi pukulan bernama stresor itu.Â
Tampaknya pengetahuan agama yang dimilikinya tidak cukup untuk menjadi pertahanan yang kuat. Saya mencoba memberi usulan agar ia menyerahkan persoalan yang dihadapinya pada Tuhan yang ia percayai. Setidaknya ia harus berdoa atau melakukan ritual yang sepatutnya. Berdoa, membaca kitab suci atau mungkin mengunjungi rumah ibadah dan komunitas-komunitas yang bisa memberikan dukungan sosial (social support).
Walhasil, tak satupun usulan saya dilakukannya. Ia mejawab sederhana bahwa ritual-ritual itu tidak memberikan efek padanya. Berulangkali ia mencoba berulangkali pula ia merasakan bertambahnya rasa tak berdaya.Â
Berdoa yang sejatinya menjadi sarana melepaskan berbagai beban mental ternyata tidak berefek apa-apa padanya. Agama baginya semata-mata berada dalam dimensi pengetahuan (Knowledge dimension) jika pinjam istilah peneliti Glock & Stark (1968). Kasus ini bukan kasus pertama yang saya temui. Ada banyak orang dengan fenomena serupa saat mereka memperlakukan agama yang diyakininya.Â
Mereka berpengetahuan cukup baik tentang agamanya, tetapi terlampau rendah dalam hal pengaruh agama itu dalam kehidupan mereka. Baik kehidupan professional, sosial, keluarga maupun kehidupan pribadi.
Kawan saya yang lain seorang dokter. Ia dokter relijius kalau dilihat dari kerajinannya melakukan ritual. Hampir semua ritual agamanya dilakoni dengan baik. Ia membaca kitab suci setiap hari, berdoa setiap memulai sesuatu, rajin mengunjungi rumah ibadah dan suka sekali mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang. Pengetahuan agamanya tidak mendalam.Â
Biasa biasa saja sehingga kalau ada diskusi ia lebih banyak diam dan menjadi pendengar. Yang menarik (dan menjadi persoalan) ia sering memaksa setiap pasiennya untuk berdoa sebelum memulai sesi pemeriksaan, ia juga memberikan advis agar pasiennya berdoa sebelum meminum obat yang ia berikan (saya rasa ini anjuran yang baik) dan sering terjadi ia rela meninggalkan pekerjaannya jika harus melakukan ritual tertentu atau ada kegiatan komunitasnya.Â
Kalau pakai dimensi Glock dan Stark (1968) kawan saya ini kuat dalam dimensi ritual. Kesalehan individunya luar biasa meskipun lemah dalam kesalehan sosial (hubungan dengan orang lain). Kawan saya ini bermasalah dalam kehidupan keluarga.
Mengapa berbeda
Kasus di atas memberikan satu pertanyaan mendasar dan penting: mengapa orang berbeda beda memaknai agama yang dianutnya atau iman yang diyakininya? Mengapa ada orang sangat terampil dalam menyampaikan ajaran agamanya, tetap ritualnya buruk dan kehidupan sosialnya amburadul? Mengapa ada orang setiap waktu (dan rajin) ke rumah ibadah, tetapi secara emosional mengalami penyakit-penyakit mental (depresi, cemas, iri, dengki, dll)?Â
Bahkan ada banyak ruhaniwan yang bermasalah dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan sosial? Mengapa ada orang yang sangat bersemangat ketika harus menolong orang lain (sifat altruist-nya tinggi), tetapi pengalaman spiritualnya kering dan hambar? Mengapa ada orang yang tidak beribadah dengan baik, tetapi menjadi sangat peka jika berbicara soal agama?Â
Mengapa ada orang yang di rumahnya bertumpuk tumpuk buku agama, rajin pergi ke rumah ibadah bahkan rajin berdoa, tetapi tidak memiliki sifat sabar dan kendali diri, serta cenderung melakukan perbuatan tercela?
Beberapa riset, antara lain oleh Saroglou (2010), menemukan bahwa cara seseorang beragama memiliki kaitan erat dengan kepribadiannya. Ia membagi cara seseorang beragama dalam kaitan dengan kepribadiannya dalam 3 bentuk: religiosity, spirituality dan fundamentalist. Ia memakai teori kepribadian bertajuk the Bigfive Personality (BFP) untuk melihat kecenderungan kepribadian seseorang dalam melakukan bentuk ajaran agama.Â
BFP menunjukkan adanya 5 bawaan kepribadian dasar manusia (disebut trait) yang kecil kemungkinan untuk diubah oleh lingkungan. Trait merupakan ciri-ciri atau pola pola yang menetap dari pikiran, perasaan dan tindakan seseorang, yang membuatnya unik dan berbeda dengan orang lain. Trait menunjukkan kekhasan dan karakteristik perilaku seseorang. Ia bersifat stabil.Â
Trait berbeda dengan mood yang relatif berubah-ubah. BFP terdiri dari 5 trait yang disingkat OCEAN: Openness (misalnya, keterbukaan VS kekakuan), Conscientiousness (e.g., terorganisir, rapih, VS ceroboh, malas), Extraversion (terbuka, aktif VS pasief, pemalu), Agreeableness (ramah, baik VS dingin, keras) dan Neuroticism (cemas dan mudah terangsang VS santai, tenang)
Dengan melakukan meta-analisis pada sejumlah riset dengan sampel total 21.715 orang Kristiani di 16 negara yang berada di Eropa, Amerika Utara dan Oseania, Saroglou (2010) kemudian membuat 3 kelompok orang: 1) relijius, 2) spiritual dan 3) orang2 fundamentalis. Orang relijius adalah mereka yang mempraktekkan ajaran agama (ritual) sebagaimana diajarkan agama dan dilegitimasi oleh kelompoknya.Â
Orang spiritual adalah mereka yang mementingkan perasaan subyektifnya dalam beribadah dan bebas dari tradisi atau kepercayaan yang sudah mapan. Masuk dalam kelompok ini juga mereka yang tetap melaksanakan ritual tetapi mementingkan perasaan subyektif. Sedangkan orang fundamentalis adalah mereka yang menunjukkan iman, praktik-praktik dan perilaku yang dogmatis, keras dan cenderung memaksa. Istilah fundamentalis disini dalam lingkup psikologi. Bukan sosiologi, apalagi politik.
Saroglou menemukan bahwa orang-orang relijius (ritual) adalah mereka yang memiliki (lebih banyak) sifat bawaan Agreeableness and Conscientiousness. Orang-orang dengan sifat bawaan ini memiliki kestabilan emosi, ramah, baik hati , simpatik, suka menolong, bisa bekerja sama dan mampu membangun hubungan yang baik di antara sesama.Â
Sedangkan orang-orang spiritual cenderung tinggi dalam sifat Openness, keterbukaan, tidak kaku dan mampu menerima pendapat baru. Bagaimana dengan orang-orang fundamentalis? Orang-orang fundamentalis memiliki nilai rendah dalam sifat Openness. Mereka kaku, doktriner, memaksa, tidak sabar, emosi labil dan sulit menerima perbedaan.Â
Dalam riset lainnya sifat-sifat bawaan yang berujung pada beragama secara fundamentalis ditemukan pada semua komunitas yang diteliti (Hindu, Budha, Islam, Kristen). (Ciarroc-chi, Piedmont, & Williams, 2002; Leach, Piedmont, & Monteiro, 2001). Jika meminjam studi oleh Baylor Institute (2010) pada masyarakat Amerika, maka orang-orang fundamentalis ini memiliki Tuhan yang bersifat otoriter dan memaksa (Authoritative God). Otak mereka didominasi oleh otak emosional (limbic Brain) yang membuat hidup penuh ketegangan, ancaman dan bahaya.Â
Yang menarik, kelompok ini tumbuh subur dalam semua agama dalam ruang, waktu dan kesempatan yang berbeda. Yang bikin penasaran, kelompok-kelompok ini juga tumbuh dalam lingkungan internal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen. Dari sinilah bermunculan sekte-sekte baru yang menjadi ancaman terbesar pada agama-agama konvensional. Memisah dari induk menjadi ciri khas sejumlah sekte baru. Pilihan seseorang atas sekte ini sangat ditentukan oleh sifat bawaan dan budaya.
Riset2 yang dianalisis Saroglou di atas memberikan penjelasan gamblang bahwa cara kita beragama sangat ditentukan oleh faktor kepribadian bawaan (meskipun ada faktor budaya juga). Jangan heran kalau orang yang memiliki sifat bawaan Neurotik (impulsif, agresif, dll) memiliki perilaku beragama yang fundamentalis. Demikian pula sebaliknya.Â
Dengan cara ini kita bisa memprediksi bagaimana orang yang neurotik beraktivitas dengan agamanya. Pikiran, tuturan, sikap dan perilaku menunjukkan 2 hal sekaligus: sifat bawaannya dan cara dia beragama. Fakta yang bisa diamati secara kasar ada orang2 yang menyatakan diri sebagai orang2 relijius, tetapi ciri khas pikiran hingga perilaku cenderung fundamentalis. (sudah dimuat dalam Koran Sindo Manado, Seals 6 Pebruari 2018)
Dr.dr.Taufiq Pasiak, M.Kes., M.Pd.I
Spiritual Neuroscientist and Neuroanatomist
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H