Dalam riset lainnya sifat-sifat bawaan yang berujung pada beragama secara fundamentalis ditemukan pada semua komunitas yang diteliti (Hindu, Budha, Islam, Kristen). (Ciarroc-chi, Piedmont, & Williams, 2002; Leach, Piedmont, & Monteiro, 2001). Jika meminjam studi oleh Baylor Institute (2010) pada masyarakat Amerika, maka orang-orang fundamentalis ini memiliki Tuhan yang bersifat otoriter dan memaksa (Authoritative God). Otak mereka didominasi oleh otak emosional (limbic Brain) yang membuat hidup penuh ketegangan, ancaman dan bahaya.Â
Yang menarik, kelompok ini tumbuh subur dalam semua agama dalam ruang, waktu dan kesempatan yang berbeda. Yang bikin penasaran, kelompok-kelompok ini juga tumbuh dalam lingkungan internal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen. Dari sinilah bermunculan sekte-sekte baru yang menjadi ancaman terbesar pada agama-agama konvensional. Memisah dari induk menjadi ciri khas sejumlah sekte baru. Pilihan seseorang atas sekte ini sangat ditentukan oleh sifat bawaan dan budaya.
Riset2 yang dianalisis Saroglou di atas memberikan penjelasan gamblang bahwa cara kita beragama sangat ditentukan oleh faktor kepribadian bawaan (meskipun ada faktor budaya juga). Jangan heran kalau orang yang memiliki sifat bawaan Neurotik (impulsif, agresif, dll) memiliki perilaku beragama yang fundamentalis. Demikian pula sebaliknya.Â
Dengan cara ini kita bisa memprediksi bagaimana orang yang neurotik beraktivitas dengan agamanya. Pikiran, tuturan, sikap dan perilaku menunjukkan 2 hal sekaligus: sifat bawaannya dan cara dia beragama. Fakta yang bisa diamati secara kasar ada orang2 yang menyatakan diri sebagai orang2 relijius, tetapi ciri khas pikiran hingga perilaku cenderung fundamentalis. (sudah dimuat dalam Koran Sindo Manado, Seals 6 Pebruari 2018)
Dr.dr.Taufiq Pasiak, M.Kes., M.Pd.I
Spiritual Neuroscientist and Neuroanatomist
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H