Mengapa berbeda
Kasus di atas memberikan satu pertanyaan mendasar dan penting: mengapa orang berbeda beda memaknai agama yang dianutnya atau iman yang diyakininya? Mengapa ada orang sangat terampil dalam menyampaikan ajaran agamanya, tetap ritualnya buruk dan kehidupan sosialnya amburadul? Mengapa ada orang setiap waktu (dan rajin) ke rumah ibadah, tetapi secara emosional mengalami penyakit-penyakit mental (depresi, cemas, iri, dengki, dll)?Â
Bahkan ada banyak ruhaniwan yang bermasalah dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan sosial? Mengapa ada orang yang sangat bersemangat ketika harus menolong orang lain (sifat altruist-nya tinggi), tetapi pengalaman spiritualnya kering dan hambar? Mengapa ada orang yang tidak beribadah dengan baik, tetapi menjadi sangat peka jika berbicara soal agama?Â
Mengapa ada orang yang di rumahnya bertumpuk tumpuk buku agama, rajin pergi ke rumah ibadah bahkan rajin berdoa, tetapi tidak memiliki sifat sabar dan kendali diri, serta cenderung melakukan perbuatan tercela?
Beberapa riset, antara lain oleh Saroglou (2010), menemukan bahwa cara seseorang beragama memiliki kaitan erat dengan kepribadiannya. Ia membagi cara seseorang beragama dalam kaitan dengan kepribadiannya dalam 3 bentuk: religiosity, spirituality dan fundamentalist. Ia memakai teori kepribadian bertajuk the Bigfive Personality (BFP) untuk melihat kecenderungan kepribadian seseorang dalam melakukan bentuk ajaran agama.Â
BFP menunjukkan adanya 5 bawaan kepribadian dasar manusia (disebut trait) yang kecil kemungkinan untuk diubah oleh lingkungan. Trait merupakan ciri-ciri atau pola pola yang menetap dari pikiran, perasaan dan tindakan seseorang, yang membuatnya unik dan berbeda dengan orang lain. Trait menunjukkan kekhasan dan karakteristik perilaku seseorang. Ia bersifat stabil.Â
Trait berbeda dengan mood yang relatif berubah-ubah. BFP terdiri dari 5 trait yang disingkat OCEAN: Openness (misalnya, keterbukaan VS kekakuan), Conscientiousness (e.g., terorganisir, rapih, VS ceroboh, malas), Extraversion (terbuka, aktif VS pasief, pemalu), Agreeableness (ramah, baik VS dingin, keras) dan Neuroticism (cemas dan mudah terangsang VS santai, tenang)
Dengan melakukan meta-analisis pada sejumlah riset dengan sampel total 21.715 orang Kristiani di 16 negara yang berada di Eropa, Amerika Utara dan Oseania, Saroglou (2010) kemudian membuat 3 kelompok orang: 1) relijius, 2) spiritual dan 3) orang2 fundamentalis. Orang relijius adalah mereka yang mempraktekkan ajaran agama (ritual) sebagaimana diajarkan agama dan dilegitimasi oleh kelompoknya.Â
Orang spiritual adalah mereka yang mementingkan perasaan subyektifnya dalam beribadah dan bebas dari tradisi atau kepercayaan yang sudah mapan. Masuk dalam kelompok ini juga mereka yang tetap melaksanakan ritual tetapi mementingkan perasaan subyektif. Sedangkan orang fundamentalis adalah mereka yang menunjukkan iman, praktik-praktik dan perilaku yang dogmatis, keras dan cenderung memaksa. Istilah fundamentalis disini dalam lingkup psikologi. Bukan sosiologi, apalagi politik.
Saroglou menemukan bahwa orang-orang relijius (ritual) adalah mereka yang memiliki (lebih banyak) sifat bawaan Agreeableness and Conscientiousness. Orang-orang dengan sifat bawaan ini memiliki kestabilan emosi, ramah, baik hati , simpatik, suka menolong, bisa bekerja sama dan mampu membangun hubungan yang baik di antara sesama.Â
Sedangkan orang-orang spiritual cenderung tinggi dalam sifat Openness, keterbukaan, tidak kaku dan mampu menerima pendapat baru. Bagaimana dengan orang-orang fundamentalis? Orang-orang fundamentalis memiliki nilai rendah dalam sifat Openness. Mereka kaku, doktriner, memaksa, tidak sabar, emosi labil dan sulit menerima perbedaan.Â