Mohon tunggu...
Taufiq Pasiak
Taufiq Pasiak Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pemerhati Kajian Otak, Perilaku Sosial dan Cara manusia berpikir. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Qalbu dalam Perspektif Neurosains

7 Juni 2016   18:15 Diperbarui: 7 Juni 2016   18:22 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang Tarwih semoga tulisan ini bermanfaat

QOLB (KALBU) DALAM PERSPEKTIF NEUROSAINS (ILMU OTAK)[1]

Taufiq Pasiak[2]

(Disampaikandalam pengajian PP Muhammadiyah dan PW Muhammadiyah Jawa Timur. Gedung Dome Univ. Muhammadiyah-Malang, 5 Juli 2014, bersama Prof.Quraish Shihab).

Pendahuluan

Pembahasan tentang Kalbu (al-Qolb) adalah salah satu pembahasan menarik ketika membahas tentang diri manusia. Tidak saja para ahli tafsir al-Qur’an yang tertarik membahasnya, tetapi juga para ilmuwan beragam bidang. Ada ahli yang berpendapat bahwa Qolb itu menunjuk jantung manusia.

Uraian ini dengan pelbagai argumentasi ilmiah memberikan pendapat bahwa Qolb lebih cocok disemaikan pada fungsi emosional otak, ketimbang fungsinya sebagai organ pemompa darah, yakni jantung.

Pembahasan

Pengertian Kalbu

Pengertian Kalbu (al-Qolb) dalam tulisan ini merujuk pada tulisan Prof.Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Dia ada di mana. “tangan” Tuhan dibalik setiap fenomena” (Penerbit Lentera Hati, 2004 : 128-131). Saya kutipkan pendapat beliau:

Bahasa Arab menggunakan kata Qolb(Kalbu) untuk menunjuk organ manusia yang menjadi pusat peredaran darah (huruf miring oleh saya) dan terletak di rogga dada sebelah atas itu. Namun, dalam saat yang sama kata tersebut digunakan juga dalam arti perasaan(huruf miring oleh saya). Dalam bahasa Indonesia pun kita sering berkata jantung hatidalam arti pusat perasaan.HR Bukhari melalui Nu’man Ibn Basyir mengutip pendapat rasulullah tentang makna kalbu sebagai pusat rasa, yakni kepekaan (huruf miring oleh saya). Seseorang yang hilang kepekaannya, maka dia tidak segan akan melakukan segala macam keburukan(huruf miring oleh saya). Yang hilang kepekaannya akan hilang pula rasa kasihnya terhadap kaum yang lemah, karena kasih adalah kepekaan hati melihat ketidakberdayaan, lalu mendorong si peka untuk menanggulangi sedapat mungkin ketidakberdayaan itu. Kepekaan selalu membawa kepada kebaikan. Sifat inilah yang melahirkan budi pekerti luhur serta mengantar kepada keindahan. Karena itu, ia juga yang mendorong lahirnya seni. Kata qolbdigunakan juga oleh alqur’an sebagai gabungan daya pikir dan kesadaran moral. Ia adalah akal sehat dan kepekaan hati. Karena itu, Allah mengecam mereka yang tidak menggunakan hati atau kalbunya. Seseorang disebut buta hati jika ia tidak menggunakan akal sehatnya dan mengasah kepekaannya dan tidak pula menggunakan telinganya

Selanjutnya beliau membuat kesimpulan pengertian Kalbu dengan analogi sebuah sumur:

Sumur dapat menjadi wadah sekaligus alat meraih pengetahuan. Sumur bisa menghasilkan air sekaligus menampung air. Kalbu dapat menjadi wadah sekaligus sumber pengetahuan. Dan orang yang kalbunya hanya menjadi wadah lagi sempit akan cepat tersinggung dan juga tidak memiliki pengetahuan kecuali sedikit, dan itu pun diperolehnya dari luar.

Menarik sekali karena Prof. Quraish Shihab membahas masalah Kalbu di atas dalam bab yang berjudul “Jantung”. Tersirat, beliau memahami Kalbu fisik memiliki kaitan dengan organ bernama jantung meskipun kalbu juga mengandung pengertian yang non fisik sebagaimana dijelaskannya di atas. Hubungan jantung dan kalbu ini pernah dibahas oleh seorang dokter ahli jantung dari RS Jantung Harapan Kita, bernama Manoefris Kasim. Kami pernah bertemu 2 kali dan membahas penemuan beliau yang sangat menarik itu. Dengan merujuk sejumlah pasien yang pernah menerima transplantasi jantung serta penemuan sel neuron di dalam jantung oleh Armour (“little brain in the Heart’), Manoefris Kasim berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Qolb/Kalbu adalah jantung manusia. Sejumlah pasien yang menerima transplantasi jantung menunjukkan perubahan kepribadian sesuai dengan kepribadian si donor jantung. Sedangkan “little brain in the Heart”menunjukkan bahwa jantung bisa melakukan fungsi berpikir. Dengan penjelasan ini, Manoefris berpendapat bahwa terjemahan ‘jantung’ untuk kata Qolb/Kalbutidak semata-mata dalam pengertian fisik, seperti satu pihak pengertian jantung yang disebut Quraish Shihab.[3]

Perkembangan Riset Neurosains

Quraish Shihab menyebut Kalbu sebagai secara fisik sebagai jantung, serta secara non fisik sebagai pusat rasa dan pusat kepekaan yang berkaitan dengan perilaku baik dan buruk. Fungsi Qolb yang disebut Quraish Shihab itu merujuk pada fungsi emosi dan spiritual dalam tubuh manusia. Seperti diketahui, manusia adalah mahluk yang dikaruniai 3 komponen; fisik (jism), mental (nafs) dan spiritual (ruh). Dengan 3 komponen ini manusia menjadi mahluk sempurna. Ia mampu melintasi 3 alam yang berbeda: alam fisik, alam pikiran dan alam ruh. Sejak jaman ilmuwan Rene Descartes (1596-1650) penelitian tentang aspek fisik manusia sangat berkembang karena sejumlah ahli memegang teguh prinsip Descartes tentang Res Cogitans dan Res Extensa, terutama adagium Cogito ergo sum(“saya berpikir karena itu saya ada”) yang merupakan elaborasi atas bukunya Discours de la method (1637). Sedangkan penelitian soal emosi bermula sejak karya Charles Darwin berjudul The Expression of the Emotions in Man and Animals (1872) dipublikasikan. Hingga kini ada ribuan riset tentang emosi manusia. Riset-riset itu terentang mulai dari riset dasar emosi hingga pengaruh emosi dalam cara manusia membuat keputusan. Fakta ini menunjukkan bahwa sains telah membuka banyak jalan bagi manusia untuk mempelajari perihal dirinya, terutama soal emosi.

Sedangkan riset tentang aspek spiritual manusia berkembang pesat di awal abad 21, terutama riset tentang otak dalam hubungannya dengan spiritualitas. Kemajuan sains ini telah membuka sejumlah besar misteri tentang otak manusia dalam kaitannya dengan spiritualitas. Pada masa ini lahirlah istilah-istilah seperti God Spot, God Module, Spiritual Brain,dll. Penemuan ini melahirkan sebuah cabang ilmu baru yang disebut neuroteologi. Penemuan-penemuan ini juga mengukuhkan pendapat bahwa otak manusialah yang berurusan dengan masalah-masalah ketuhanan dan spiritualitas, termasuk berurusan dengan soal baik dan buruk.

Kepekaan dalam aspek emosi

Quraish Shihab menyatakan bahwa ‘kepekaan’ adalah ciri utama kalbu. Sebagai pusat rasa (perasaan) kalbu memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi dari yang lain dalam kaitan dengan perasaan. Saya menangkap yang tersirat dari kata ‘kepekaan’ itu adalah ‘kecepatan’ dalam merespon sesuatu. Sesuatu itu disebut peka, jika ia dapat bereaksi lebih cepat dari reaksi rata-rata. Misalnya, dikatakan: “Tumbuhan itu peka rangsang”, maka itu berarti bahwa dengan rangsangan biasa-biasa saja yang bagi tumbuhan lain tidak berarti apa-apa, pada tumbuhan ini justeru bisa segera memicu responnya. Hanya dengan sedikit rangsangan saja tumbuhan itu sudah bereaksi meskipun bagi tumbuhan lain belum tentu menimbulkan reaksi. Kalimat “anak itu punya kepekaan tinggi” dapat berarti bahwa anak ini bisa merespon sesuatu lebih cepat daripada respon yang diberikan oleh anak lain, untuk rangsangan yang sama. Dengan contoh di atas, kepekaan memiliki makna ‘kecepatan’ atau ‘lebih cepat’. Masuk akal jika ‘kepekaan’ yang dimiliki oleh kalbu, sebagaimana itu disebut oleh Quraish Shihab di atas, bisa berarti bahwa kalbu memiliki kemampuan merespon lebih cepat dari organ-organ yang lain.

Sifat bereaksi ‘lebih cepat’ ini adalah sifat emosi manusia. Emosi adalah dorongan untuk bertindak seketika untuk menghadapi masalah. Bila seseorang merasakan emosi amarah,maka seketika denyut jantung berdetak lebih cepat, darah mengalir lebih cepat, hormon-hormon tubuh dilepas sangat banyak, sehingga seseorang yang amarah dapat secepat kilat menyambar sepotong besi untuk memukul orang lain. Pusat pengaturan emosi ada di otak manusia melalui suatu mekanisme jalur cepat: sensorik-àthalamusàAmigdala.Informasi dari luar tubuh masuk melalui sejumlah organ sensorik (mata, telinga, hidung, dll), lalu masuk ke pintu gerbang (thalamus) besar dimana informasi akan dibagikan, lalu dengan cepat masuk ke Amigdala. Amigdala adalah komponen otak mirip buah almond, yang menjadi pusat regulasi emosi. Perlangsungan informasi ini berlangsung sangat cepat sehingga seperti terjadi suatu ‘pembajakan’ yang disebut amigdala hijacking.Jalur ini yang membuat seseorang menjadi cepat bereaksi—yang diistilahkan reaktif—terhadap informasi yang masuk.

Sejatinya, jika seseorang tidak dalam posisi terancam atau takut, maka informasi akan berjalan mengikuti jalur lambat, yakni jalur sensorik-àthalamusàCortex Cerebri.Informasi yang sudah berada di pintu gerbang (thalamus) akan menuju ke cortex cerebri dengan menggunakan serabut halus bernama tractus thalamocorticalis. Di sini informasi diproses secara sadar dengan memobilisasi sejumlah memori yang tersimpan di banyak bagian otak. Sebagai contoh, jika seseorang dikritik, maka seketika ia tersinggung, ia merasa tidak nyaman dan ia merasa dalam posisi dilecehkan. Ia memberikan reaksi cepat yang bersifat emosional, termasuk munculnya reaksi-reaksi tubuh yang dipicu oleh sistem saraf otonom, seperti berkeringat, denyut jantung meningkat, nadi bertambah, nafas makin cepat, dll. Beberapa saat kemudian ketika ia mulai tenang, maka ia mulai berpikir bahwa ternyata kritik tadi itu masuk akal dan sangat bermanfaat. Saat ini sisi rasionalnya sudah mulai bekerja dengan baik.

Rasa takut (fear) adalah contoh penting tentang bagaimana emosi bekerja. Rasa takut terhadap stimulus dari luar (misalnya melihat ular) akan segera memicu reaksi cepat dalam sistem cepat (sensorik, thalamus dan amigdala). Dalam merespon rasa takut bagian amigdala ini bertindak sebagai sistem pertahanan (defense system) yang kemudian menghasilkan respon bertahan . Amigdala akan memerhatikan apakah bahaya (baik yang alamiah/innate maupun bahaya yang sudah dipelajari/learned) memang ada, dan jika ada, maka secepat kilat amigdalam akan memobilisasi respon tubuh terhadap bahaya itu, misalnya melawan (fight), lari (flight) atau diam ketakutan (freeze). Dalam menghadapi bahaya tubuh manusia berubah sangat cepat: jantung berdetak lebih cepat, nadi berdenyut lebih cepat, nafas makin memburu, otot-otot menjadi tegang, pupil mata melebar dan keringat mengalir lebih banyak. Melalui saraf otonom, tubuh dibombardir dengan zat-zat kimia untuk merespon rasa takut itu. [4]

Itu sebabnya, para ahli berpendapat bahwa dalam berpikir manusia menggunakan 2 jalur otak; jalur amigdala yang membentuk pikiran emosional,dan jalur cortex cerebri yang membentuk pikiran rasional.Baik pikiran emosional maupun pikiran rasional menjadi bagian penting kehidupan manusia. Mereka bekerja secara dinamis dan saling memengaruhi.[5] Secara spesifik, emosi didefenisikan sebagai the subjective reactions of man and animals to the effect of external and internal stimuli that appear in the form of satisfaction or dissatisfaction, joy, fear, etc.[6]Emosi juga adalah “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Contoh emosi: amarah, kesedihan, ketakutan, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu. [7]

Sejumlah penelitian telah dikelompokkan dalam teori emosi, seperti teori emosi dari Darwin, teori James Lange, teori Cannon Bard, teori pelabelan kognitif dari Schachter, dll. Meskipun teori-teori ini berbeda menjelaskan mekanisme emosi, tetapi menunjukkan kesamaan dalam soal ‘reaksi cepat’ emosi atau ‘kepekaan’ dalam istilah Quraish Shihab, serta kesamaan dalam adanya reaksi tubuh (fisik) terhadap kondisi emosi spesifik.

Sistem 1 dan Sistem 2

Istilah ‘kepekaan’ oleh Quraish Shihab dalam pengertian ‘kecepatan’ atau ‘lebih cepat’ dapat diterangkan juga dengan menggunakan teori 2 sistem berpikir dari Daniel Kahneman. Dalam penelitiannya tentang cara manusia merespon sebuah informasi, maupun cara manusia membuat keputusan, dalam hal apa saja, mulai dari berbelanja, pilihan kartu ketika main judi, pilihan kue untuk dimakan hingga pilihan politik, ia menemukan bahwa otak manusia bekerja dengan 2 sistem; sistem 1 (emosional) dan sistem 2 (rasional).[8]

          · Sistem 1 beroperasi secara otomatis dan cepat, dengan sedikit atau tanpa usaha dan tanpa ada perasaan sengaja dikendalikan.

          · Sistem 2memberikan perhatian kepada aktivitas mental yang membutuhkan usaha, termasuk perhitungan rumit. Operasi sistem 2 sering dikaitkan dengan pengalaman subyektif menjadi pelaku, pemilih dan berkonsentrasi.

Baik sistem 1 maupun sistem 2 dibutuhkan dalam kehidupan, tergantung seseorang harus merespon apa. Yang jelas, untuk mendapatkan suatu pengaturan yang baik, maka sistem 2 harus mengatasi sistem 1. Sistem 2 inilah yang bertanggung-jawab atas kendali diri. [9] Dalam proses kendali diri itu sistem 2 berusaha dengan keras untuk mengendalikan sistem 1. Usaha yang keras ini bukan perkara gampang. Di sinilah letak masalah manusia dalam pengendalian diri. Jadi, menurut riset Kahneman ini, ada hubungan antara kemampuan pengendalian diri oleh sistem 2 dengan seberapa kuat atau mampu seseorang melakukan usaha keras untuk itu. Kahneman mengaitkan usaha keras itu dengan usaha kognitif manusia. Artinya, usaha keras mengendalikan sistem 1 ditentukan oleh usaha kognitifnya.[10] Usaha kognitif adalah usaha manusia berpikir jernih menghadapi sesuatu. Jika seseorang diberikan tugas berat yang menguras energi berpikirnya, maka ia akan mudah terseret godaan-godaan yang diberikan secara bersamaan. Kendali diri dengan usaha kognitif harus dilatih. Dalam titik inilah saya menemukan makna kalimat Quraish Shihab bahwa Sumur dapat menjadi wadah sekaligus alat meraih pengetahuan. Sumur bisa menghasilkan air sekaligus menampung air,untuk menjelaskan makna Kalbu itu. Artinya, pengendalian diri yang terlatih dengan baik, akan menjadi bagian penting untuk memfungsikan pikiran sebagai sumber sekaligus wadah. Tampaknya disini otak memenuhi unsur itu. Wadah sekaligus sumber.

Dalam upaya melatih diri itu, yakni melatih pengendalian diri itu, dibutuhkan suatu kecerdasan yang secara popular disebut kecerdasan emosi (emotional Intelligence). Kecerdasan emosional adalah upaya memasukkan kecerdasan di dalam emosi manusia, dengan cara menata ulang pikiran manusia, sehingga yang terjadi adalah sistem 1 mengendalikan sistem 2 secara dinamis.

Kecerdasan Emosi: emosi yang dilatih

Kalbu atau emosi dapat dilatih. Selain untuk menata kepekaanya dan akan menjadi sarana manusia untuk hidup secara baik dan benar. Dengan mengacu pada riset-riset brilian Robert K. Cooper, Ayman Sawaf, Robert E. Kelley dan LeDoux tentang emosi Daniel Golleman mengenalkan istilah kecerdasan emosi.[11] Kecerdasan emosi terdiri dari sejumlah komponen yang jika dilatih akan menghasilkan kekuatan yang luar biasa[12]:

·                                         Self-Awareness and Control,kemampuan untuk memahami dan mengendalikan diri.

·                                        Empathy,kemampuan untuk memahami bagaimana seseorang memandang dirinya dan situasi di sekitarnya

·                                        Social Expertness,kemampuan untuk membangun hubungan yang tulus dengan orang lain didasarkan pada kedudukan yang sama.

·                                         Personal Influence,kemampuan untuk menginspirasi orang lain melalui kata-kata atau perbuatan.

·                                         Mastery of Vision,kemampuan untuk mengartikulasi semangat sehingga bisa melihat masa depan.

Jika melihat komponen-komponen kecerdasan emosi di atas, maka nyatalah bahwa melatih emosi itu berkaitan dengan sikap baik atau buruk seseorang, setidaknya dalam pergaulan social. Ini sejalan dengan pendapat Quraihs Shihab soal Kalbu: Yang hilang kepekaannya akan hilang pula rasa kasihnya terhadap kaum yang lemah, karena kasih adalah kepekaan hati melihat ketidakberdayaan, lalu mendorong si peka untuk menanggulangi sedapat mungkin ketidakberdayaan itu. Kepekaan selalu membawa kepada kebaikan.Pada dasarnya melatih emosi adalah melatih kepekaan terhadap kehidupan social, kehidupan bersama orang lain.

Penutup: Kalbu adalah Sisi Emosi Otak Manusia

Mengacu dari sejumlah uraian ilmiah di atas, maka saya berpendapat bahwa Kalbu adalah sisi emosional manusia. Sisi emosional ini merupakan salah satu fungsi dari otak manusia, selain fungsi rasional dan fungsi spiritual. Sisi rasional manusia dicakupi oleh kata ‘aql(Akal). Akal dan Kalbu yang berfungsi baik akan membawa seseorang pada kehidupan yang baik dan bermutu. Kehidupan yang dicita-citakan oleh setiap kaum muslimin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun