Beberapa hari minggu terakhir, selain covid-19 atau corona yang entah kapan selesainya, masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan mencuatnya RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila).Â
Ruu ini menjadi begitu ramai karena diyakini akan "mengotak-atik" pancasila. Hal tersebut menuai respon yang begitu beragam dalam masyarakat. Ruu ini menjadi seperti bola liar yang begitu panas dilemparkan kepada publik. Beragam penolakan oleh berbagai lapisan masyarakat masih terus berlanjut hingga tulisan ini dipublikasikan.
Salah satu yang menjadi perhatian banyak pihak adalah konsep Ekasila dan Trisila. Dalam konsep ini, Pancasila yang terdiri dari lima sila terkristalisasi menjadi tiga sila (trisila) dan semakin dikerucutkan menjadi satu sila (Eka Sila). Â
Dalam Trisila, pancasila terkristal dalam tiga sila yaitu; sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Sedangkan dalam Eka sila, trisila tersebut semakin menjadi sebuah sila berupa gotong royong.
Konsep ini sebenarnya sudah lama disampaikan dalam ruang diskusi dan akademik. Pembicaraan dalam kampus maupun seminar-seminar akademik bahkan cangkrukan ala warung kopi cukup sering menjadi ruang kajian dalam topik tersebut. Sepanjang diskusi tersebut dilakukan, topik tersebut tidak menjadi bahan yang emosional. Sebaliknya, ia menjadi topik yang asyik untuk didiskusikan.
Namun masalahnya, ketika anggota DPR yang mendiskusikannya dan berusaha mengundang-undangkannya, ia mendapatkan penolakan yang begitu kuat, kenapa? Jawabannya hanya satu, karena ia berusaha diundang-undangkan. Topik tersebut tidak pernah menjadi masalah ketika ia hanya sekedar didiskusikan, tapi berbeda ketika ia akan diundang-undangkan.
Ketika konsep RUU HIP diundang-undangkan maka ia akan memiliki kepastian hukum, kekuatan yang mengikat serta pemahaman final sepihak oleh si pembuat atau pembahas Undang-Undang.Â
Keyakinan pada Tuhan berkebudayaan sudah banyak dimaklumi masyarakat Indonesia, khususnya daerah-daerah tertentu yang memiliki sejarah dan budaya yang begitu kuat.Â
Banyak orang memaklumi hal itu dan tidak menjadikannya sebagai masalah, tapi ketika dimasukkan sebagai peraturan tertulis maka orang-orang akan menjadikannya masalah.Â
Jika sebelumnya, keyakinan tertentu dianggap sebagai pemakluman maka dengan adanya payung hukum ia akan dianggap dilegalkan. Terdapat perbedaan mendasar dalam hal tersebut.
Begitu pula dengan gotong royong yang selalu didengungkan sebagai ciri khas masyarakat Indonesia. Jika gotong royong dianggap sebagai nilai yang harus dicapai, maka hal tersebut adalah keharusan.Â
Namun jika hal tersebut dijadikan peraturan tertulis maka ia tidak lagi  menjadi karakter masyarakat Indonesia. Ia menjadi karakter yang dipaksakan ada pada masyarakat Indonesia.
Baik Ekasila maupun Trisila seharusnya tetap menjadi sebuah nilai, bukan sebuah Undang-undang. Perbedaan mendasar dari nilai dan undang-undang adalah nilai merupakan sesuatu yang diupayakan dalam mencapainya, sedangkan undang-undang adalah sesuatu yang dipaksakan untuk mencapainya. Tentu dalam hal ini negara termasuk lembaga dan aparaturnya yang dapat memaksakan tercapainya UU tersebut.Â
Undang-Undang akan menjadi payung hukum dan dasar untuk dapat memaksakan seseorang berprilaku sesuai undang-undang. Bukan tugas Negara untuk memaksa rakyatnya untuk menanamkan nilai dan budayanya, biarkan proses tersebut tetap bergerak dan tumbuh tanpa monopoli negara. Tugas negara cukup menjaga dan menjamin  proses penanaman nilai tersebut selalu ada.   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H