PENGETAHUAN TENTANG TEORI BELAJAR HUMANISME DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
PEMBAHASAN
Definisi Teori Belajar Humanisme
Menggunakan Teori Humanistik untuk Menjelaskan Pembelajaran Memanusiakan manusia itu sendiri adalah tujuan pertama dan utama dari proses pembelajaran, menurut pemikiran humanistik. Akibatnya teori belajar humanistik kurang berpijak pada pembelajaran psikologi dan lebih sejalan dengan kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi. Teori humanistik lebih mengutamakan materi pelajaran yang dipelajari dibandingkan proses pembelajaran sebenarnya.Teori belajar ini lebih fokus pada proses belajar yang ideal dan bagaimana pendidikan membentuk pribadi yang kita inginkan. Dengan kata lain, teori ini kurang mementingkan pemahaman pembelajaran sebagaimana yang sebenarnya terjadi dibandingkan dengan pemahaman pembelajaran dalam bentuknya yang paling ideal, yang merupakan fokus penelitian teori-teori pembelajaran lainnya. Sebenarnya metodologi pembelajaran Ausubel juga mencerminkan gagasan humanistik. Pandangannya mengenai "pembelajaran bermakna" atau pendidikan bermakna. Aliran pemikiran kognitif ini juga berpendapat bahwa penyerapan makna adalah inti dari pembelajaran. Informasi tersebut diambil dan diintegrasikan dengan apa yang telah dipelajari. pengalaman emosional dan elemen motivasi dalam peristiwa pembelajaran adalah penting karena, jika tidak ada hal-hal tersebut, pembelajaran tidak dapat berlangsung dan informasi baru tidak dapat diasimilasikan ke dalam struktur kognitif pelajar yang sudah ada sebelumnya.
Menurut teori humanistik, teori pembelajaran apa pun dapat diterapkan selama tujuannya adalah untuk memanusiakan manusia---yaitu, untuk mencapai tingkat aktualisasi diri, pemahaman diri, dan realisasi diri terbaik bagi pelajar. Karena pembelajaran yang diidealkan dipahami, teori pembelajaran apa pun dapat digunakan dengan teori humanistik, asalkan tujuannya adalah untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu, teori humanistik cukup eklektik. Ada kelebihan dan kekurangan yang tidak dapat dihindari pada setiap posisi atau metode pengajaran. Hal ini membuat eklektisisme berbeda dengan sistem yang mempertahankan unsur-unsur dalam bentuk aslinyaTeori apa pun akan digunakan dalam teori humanistik sepanjang tujuannya---yakni memanusiakan manusia---tercapai. Manusia adalah makhluk yang rumit. Banyak ahli dalam kompilasi teori hanya tertarik pada aspek tertentu yang menarik minat mereka. Masing-masing ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing, dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu, dan percaya bahwa teorinya tentang bagaimana orang belajar adalah teori yang paling akurat.
 Akibatnya, akan ada beberapa teori pembelajaran berdasarkan sudut pandang masing-masing. Berdasarkan logika di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan sudut pandang yang satu dengan sudut pandang yang lain sering kali disebabkan oleh perbedaan cara pandang, atau kadang-kadang karena perbedaan aksen. Oleh karena itu, perspektif atau informasi yang berbeda hanyalah sudut pandang yang berbeda mengenai subjek yang sama. Oleh karena itu, penerapan teori humanistik dan sudut pandang eklektiknya tidak hanya layak tetapi juga perlu, yang melibatkan penggunaan atau sintesis berbagai teori pembelajaran dalam upaya memanusiakan manusia. Perspektif Pembelajaran dari Tokoh Sekolah Humanistik.. Pemikir humanistik antara lain Kolb (dikenal dengan "Empat Tahap Pembelajaran"), Honey dan Mumford (dikenal dengan klasifikasi jenis siswa), Hubermas (dikenal dengan "Tiga jenis pembelajaran"), dan Bloom dan Krathwohl (dikenal untuk "Taksonomi Bloom" mereka). "Ini.
Berikut penjabaran cara pandang masing-masing tokoh dalam belajar:
Pandangan Pembelajaran oleh Kolb. Pakar Kolb yang menganut aliran pemikiran humanistik, mengkategorikan pembelajaran menjadi empat tahap:
- Tahap pengamatan aktif dan reflektif
- Tahap pengalaman konkret
- Tahap konseptualisasi
- Tahap eksperimentasi aktif
- Tahap pengalaman konkrit
 Seseorang mungkin mengalami suatu peristiwa atau kejadian sebagaimana adanya sejak awal peristiwa pembelajaran. Ia mampu mengaitkan kejadian tersebut dengan pengalaman pribadinya dan memahaminya dengan indranya. Namun dia tidak menyadari sifat insiden tersebut pada saat itu. Ia terbatas pada merasakan kejadian apa adanya; dia tidak dapat memahami atau memberikan penjelasan tentang bagaimana hal itu terjadi. Dia juga bingung mengapa situasi tersebut harus terjadi seperti itu. Seseorang memiliki keterampilan ini sejak awal proses pembelajarannya.Tahap pengamatan aktif dan reflektif Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makinlama akan semakin mampu melakukan observasi secar aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan reflaksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi,dan mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah yang dimiliki seseorang pada tahap kedua dalam proses belajar.
Fase konseptualisasi Fase ketiga peristiwa belajar adalah ketika pembelajar mulai berusaha merumuskan teori, konsep, hukum, dan prosedur mengenai pokok bahasan yang diminatinya. Untuk membuat pedoman atau generalisasi yang luas dari berbagai kejadian yang ditemui, penalaran induktif sering digunakan. Peristiwa-peristiwa yang diamati mempunyai komponen-komponen dasar yang mungkin menjadi landasan bagi hukum-hukum umum, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang nyata.
Tahap eksperimen aktif Eksperimen aktif, dalam pandangan Kolb, merupakan fase terakhir dari pengalaman belajar. Seseorang kini dapat menerapkan ide, teori, atau peraturan pada keadaan sebenarnya. Di lapangan, penalaran deduktif sering digunakan untuk menguji teori dan konsepsi. Ia mampu menerapkan teori atau rumus tersebut untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul yang belum pernah ia temui sebelumnya, sehingga ia berhenti mempertanyakan dari mana teori atau rumus itu berasal. Fase-fase pembelajaran ini, menurut Kolb, merupakan siklus berkelanjutan yang terjadi tanpa sepengetahuan peserta didik. Fase-fase pembelajaran ini secara teoritis dapat dibedakan, namun dalam praktiknya, proses perpindahan dari satu tahap pembelajaran ke tahap berikutnya sering kali terjadi persis seperti itu, dan mungkin sulit untuk menentukan kapan hal tersebut terjadi.