Mohon tunggu...
Taufiq Haddad
Taufiq Haddad Mohon Tunggu... Penulis - Peminat Filsafat, Spiritualitas, Politik, Demokrasi, dan HAM

Liverpudlian, Moderat, Curiosity

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memaknai Penderitaan: Sketsa Kehidupan Ayyub as dan Victor Frankl

12 Juni 2020   06:58 Diperbarui: 15 Juni 2020   19:36 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sketsa kehidupan Ayyub as yang tertulis dalam teks suci, serta Victor Frankl, yang terekam dalam catatan sejarah modern ini, adalah contoh menarik sebagai model bagi kita memahami sebuah penderitaan atau peristiwa yang kerap kurang kita harapkan terjadi pada diri. Betapa pun, hal ini tidaklah mudah karena adanya berbagai sudut pandang.

Sampai kini kisah Ayyub as, misalnya, oleh sekelompok pihak yang menentang Tuhan dianggap celah nyata menolak keberadaan Tuhan. Menurut pandangan ini, jika Tuhan ada, tentu hal aneh mengapa Dia menghukum, memberikan bencana kepada orang-orang yang baik dengan keburukan. Padahal Ayyub as selama hidupnya telah melakukan sesuatu yang sesuai dengan perintah Tuhan.

Perdebatan persoalan ini (problem of evil) sampai saat ini masih terus menjadi perbincangan. Kita tentu membatasi, dan tidak akan terlibat membahas hal ini lebih jauh. Dalam tulisan ini, kita hanya berusaha menyingkap dan memahami kisah Ayyub as, mencoba memberikan makna yang dapat memotivasi kehidupan menjadi lebih baik. Tentu saja dengan perspektif spiritual, beriman, yang meyakini adanya Wujud Mutlak, dibalik seluruh keberadaan.

Pertama, penderitaan bisa menimpa siapa saja, baik orang yang taat dalam aturan agama tertentu, ataupun yang hidup penuh dengan kebebasan (hedonisme). Ayyub as dan Frankl adalah dua orang yang baik secara personal. Sehingga segera singkirkanlah jauh-jauh pemahaman bahwa penderitaan itu hanya menimpa orang yang "berdosa" saja. Pemahaman ini bukan saja dipastikan keliru, namun sangat menyakitkan bagi para korban. Menurut Quraish Shihab, sebagai ahli tafsir terkemuka di Indonesia, ia membedakan antara bala' serta azab. Bala' (ujian) adalah penderitaan yang diterima oleh banyak orang. Covid-19 bisa masuk dalam kategori ini. Sedangkan azab hanya khusus menimpa orang-orang yang ingkar kepada Tuhan seperti kisah tenggelamnya Fir'aun dll.

Kedua, menunda dari ketergesaan menilai sesuatu. Apalagi bila sesuatu yang tidak kita harapkan datang tiba-tiba. Kita memberi jarak, mengisolasinya dalam usaha memahaminya secara optimal. Sudah bukan rahasia lagi dalam menilai Covid-19 misalnya, banyak bertebaran teori yang muncul, termasuk didalamnya teori konspirasi yang sulit dibuktikan dan dikonfirmasi.

Ketiga, menerimanya sebagai sebuah fakta yang memberi waktu bagi kita mengobservasi dan mengenalinya secara proporsional. Bila sesuatu yang menjadi objek pengamatan adalah fakta empirik, tentu pendekatan yang tepat dan sesuai adalah yang terkait dengan hal tersebut misalnya dengan pendekatan sains. Tentunya dengan tetap membuka diri terhadap perspektif lain. Ini lebih melegakan hati dan memuaskan akal sehat daripada mengajak orang memahami dengan pendekatan yang sulit dibuktikan, dan juga sulit dikritik (falsifikasi). Menyebut Covid-19 sebagai "tentara Tuhan" seperti yang diucapkan seorang penceramah agama misalnya, bukan saja sulit dibuktikan namun mengajak orang berfikir spekulatif, mencari-cari pembenaran (justification).

Keempat, memberikan makna. Dalam situasi menghadapi sebuah fakta yang belum terungkap, hal yang bisa kita lakukan adalah berusaha memberinya makna. Dalam kasus Covid-19, di satu sisi memang telah memberikan situasi yang penuh ketidakpastian, ancaman kesehatan dan ekonomi, namun disisi lain, ia juga memberikan perbaikan di sektor lain: perbaikan lingkungan seperti menurunnya tingkat polusi, terbangunnya solidaritas masyarakat dalam kesatuan dll.

Kelima, sabar dan optimisme, dengan segala hal yang terjadi, pada dasarnya manusia terus bergerak menuju kemajuan dalam usaha memahami dunia di sekitarnya. Bukan kali ini saja manusia mengalami ujian dan cobaan berat secara komunal, di tahun-tahun sebelumnya, ada Black Death dll. Manusia pasti akan dapat mengatasinya.

Kita dapat meneruskan lagi pemaknaan dengan hal lainnya. Menjadikan peristiwa penderitaan sebagai sebuah lompatan menuju perbaikan hidup di masa depan. Membiarkan fakta atau fenomena menampilkan dirinya (hadir) dalam pemaknaan, baik empirik maupun spiritual, atau sintesa keduanya.

Pada titik tertentu manusia memerlukan sebuah goncangan yang dapat membangunkan kesadaran diri bahwa mereka dan alam sekitar adalah sebuah kesatuan, saling mempengaruhi, dan melengkapi. Tidak lagi membiarkan pembangunan yang eksploitatif, merusak tatanan alam sekitar, ekonomi yang timpang dan perilaku politik yang menindas.

Penderitaan memberi kita jeda dalam usaha untuk terus mengenali diri, menemukan makna, menjadi lebih baik dalam keseimbangan dan harmoni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun