"We hold the illusion that we've stayed but the martyrs have passed. But the truth is that time has taken us away with itself, but the martyrs have stayed."Â
-Â Martyr Morteza Aviny
"Anda 'Hadrami' ya", tanya Mas AE saat kami jumpa pertama kali sesuai janji di Margo City, Depok, pertengahan Februari 2020 lalu. Saya pun menganggukan kepala. "Saya mengenalinya dari nama anda", lanjutnya. Tanpa mengkonfirmasi lagi arti "Hadrami", saya pun memahami bahwa yang dimaksud Hadrami oleh Mas AE adalah peranakan keturunan dari Hadramaut, Yaman, yang berdiaspora ke berbagai negara, termasuk Indonesia.Â
Kakek buyut saya memang berasal dari Hadramaut, Yaman. Sering juga di sebut Hadrami. Saya adalah generasi kelima dari peranakan Arab, yang sudah banyak kehilangan atribut, tradisi dan budaya Arab, kecuali hanya sedikit saja. "Saya orang Indonesia asli mas AE", ujar saya berusaha mengoreksi yang kemudian disambut tawanya.
Semula Mas AE mengira saya Ahmad Taufik, wartawan Tempo dan aktivis, pendiri AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia) yang telah wafat beberapa waktu lalu. Nama kami memang mirip, hanya beda satu huruf diakhiran saja-perhatikan Ahmad Taufiq, dan Ahmad Taufik. Kami sama-sama peranakan Hadrami. "Ia salah seorang aktivis dan pejuang demokrasi, peraih International Press Freedom Award 1995 serta peghargaan lainnya. Sedangkan saya hanya orang yang banyak menghabiskan waktu menjual buku", tutur saya.Â
Bukan kebetulan, penerbit tempat saya bekerja, kemudian menerbitkan tulisan-tulisan almarhum Ahmad Taufik semasanya di tahanan akibat akitifitas politiknya-"Penjara the Untold Stories". Buku itu kemudian menarik minat banyak orang karena salah satu TV swasta kemudian melakukan investigasi lanjutan yang hasilnya ternyata mengkonfirmasi keberlangsungan praktik-praktik menyimpang di Lapas dari tahun ke tahun, seperti kisah yang diungkap dalam buku tersebut.
Lalu Mas AE bercerita bahwa ia punya banyak teman dari kalangan Hadrami. "Dahulu saya diminta Haidar Bagir membantunya di Koran Republika", ujarnya. Saat itu Haidar Bagir menjabat pemimpin usaha Koran Republika. Â Di era 90-an itu Republika menjadi salah satu koran yang sangat disegani, dan menjadi media referensi sejajar dengan Kompas, Sinar Harapan, juga Media Indonesia. Â Digawangi banyak penulis hebat seperti Farid Gaban, yang kolomnya, "Solilokui" selalu saya nantikan dll. Saya bahkan hampir saja tertarik magang di Republika usai mengikuti sebuah kursus jurnalistik. Sungguh jauh berbeda sekali nuansa serta atmosphere membaca artikel di Republka masa itu dibandingkan tahun -- tahun belakangan. Tema-tema keislaman yang diangkat sudah tidak lagi "segar dan hangat', keluar dari mainstream seperti saat itu. Saya masih ingat betul Budhi Munawwar Rahman, dari Paramadina, pernah menulis dalam sebuah kolom memperkenalkan "Filsafat Perennial"-nya Fritjchof Schuon. Mas AE pun sependapat dan mengaminkan.
Haidar Bagir juga seorang Hadrami. Ia bukan saja direktur sebuah penerbitan terkemuka di Indonesia, Mizan, namun juga seorang dosen, filantropi, dan juga aktifis sosial.
Belakangan saya tahu mas AE juga berkawan baik dengan Hamid Basyaib, yang juga Hadrami, semasa menjadi pengelola media pers mahasiswa di UII Yogyakarta. Bahkan media pers-nya itu sempat di breidel karena isinya banyak mengkritik Orba Baru. Kini Hamid Basyaib menjabat Komisaris Utama (Komut) di Balai Pustaka, salah satu BUMN Perbukuan. Juga berteman dengan nama-nama beken lainnya, seperti Prof Mahfud MD dll. Dua nama terakhir ini adalah sahabat dekatnya semasa berkuliah di Yogyakarta. Keduanya menulis secara apik mengenang Mas AE yang sangat membantu kita mengenal sosoknya lebih dekat. Kenangan (obituary) lainnya juga telah ditulis banyak temannya yang tersebar di berbagai tempat, mulai dari dosen, peneliti, pejabat pemerintahan, aktivis sosial dll.
Walaupun begitu, dalam hati saya bersyukur bahwa teman-teman Hadrami yang mas AE kenal-Haidar Bagir dan Hamid Basyaib, bukanlah tokoh Hadrami yang sering menghimpun banyak massa, partisan, untuk kepentingan politik praktis. Keduanya bahkan oleh sebagian kelompok yang dekat dengan pemikiran Wahabi dianggap orang-orang menyimpang. Dituduh "Syiah" dan satunya lagi dilabeli "Liberal". Di tengah melimpahnya informasi dan keterbukaan seperti sekarang tuduhan tersebut terkesan naif, paradoks dan stigmatik.
Berdasarkan bacaan singkat saya tentang mas AE-yang memang sangat singkat, saya faham betul Mas AE Â sudah sangat gelisah dan resah melihat pola dan perilaku Islam-politik di Indonesia yang didominasi kalangan Wahabi. Islam-politik dimaknainya sebagai bentuk ekspresi Islam dalam ranah politik yang bertujuan merebut kekuasaan. Berbeda dengan term Islam-ritual ataupun Islam-kultural. Â Dengan kata lain, Islam hanya dipakai sebagai alat, bukan sebagai pandangan hidup yang holistik.
Mas AE pernah menulis sangat bagus mendedah dan membuat distingsi mengenai hal tersebut dalam sebuah buku yang diterbitkan Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada Yayasan Badan Wakaf UII dengan judul, "Masa Depan Islam Politik dan Islamisme di Indonesia". Kajian dan analisnya sangat padat, penuh analitik. Sebuah monograf.
Dengan jejak intelektualnya yang sangat mumpuni dan menterang tersebut, sejujurnya saya merasa "minder" saat berkesempatan berdiskusi dengan Mas AE. Secara intelektual saya merasa sangat berjarak, dengannya. Saya bukan seperti kedua teman Hadrami-nya yang cemerlang seperti disebut diatas.
Seingat saya, ia juga menyinggung nama Hadrami lain seperti Ismed Haddad (salah satu tokoh penting di LP3ES), Toriq Haddad (Pemimpin Usaha Majalah Tempo), yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan saya. Kalaupun ada hanyalah sebatas kesamaan nama keluarga (fam) saja.Â
Jelasnya saya bukanlah siapa-siapa di depan mas AE, melainkan hanya seorang yang pernah bekerja dan menggeluti bisnis penerbitan. Itu pun bukan di bagian keredaksian, namun lebih banyak di manajemen dan operasional, sejalan dengan latarbelakang pendidikan saya bidang bisnis, manajemen dan keuangan.
Bidang penerbitan dan perbukuan ini pula yang kemudian akhirnya menjadkan "hub" dan "melting pot" perbincangan kami selanjutnya. Saya tahu betul mas AE sangat menggandrungi buku. Di laman group media sosialnya ia banyak membagikan e-book secara gratis. Tidak cukup sampai disitu saja, ia juga memberikan ulasan, resensi tentang buku-buku tersebut. Bahkan dengan penuh perhatian ia mau meluangkan waktu mengirimkannya lewat email kepada anggota group di membernya. Â Ia pernah mengirimi saya e-book, "The Face Before I Was Born, A Spiritual Autobiography, karya Lleelyn Vaughan --Lee, seorang sufi, pengikut tarikat, Naqshbandiyya-Mujaddidiyya.
Temanya sangat beragam, namun kebanyakan tentang spiritualitas dan metafisika. Tema yang juga memikat perhatian saya. Â Mas AE bercerita bahwa ia diberikan akses penuh e-book gratis bertema spiritualitas dari berbagai sudut pandang. Sayang sekali, kita akan kehilangan sosok yang memberikan banyak informasi dan akses buku-buku bermutu.
Keminderan dan kegugupan saya pun perlahan nyaris hilang saat perbincangan belangsung. Semula saya mengira ia seperti beberapa "orang-orang hebat" lainnya yang seringkali mendominasi pembicaraan. Namun Mas AE justru sebaliknya. Ia pribadi yang sangat rendah hati, dan egaliter. Â
Tutur katanya formal, sopan, dan lembut, tidak menggebu-gebu dan mengoyak seperti caranya menulis. Ia juga orang yang mau banyak mendengar dengan penuh perhatian. Bahkan yang mengagumkan, dia membatasi dirinya untuk tidak membahas bidang yang tidak dikuasainya. Betapapun jarak usia dan intelektual diantara kami yang cukup jauh. Ia sama sekali tidak menunjukan dan mengesankan dirinya penulis yang berpengalaman, hebat dengan analisis yang mendalam.Sebuah sikap intelektual sejati. Â
Belakangan dari diskusi bersama di Zoom, sebuah jaringan conference yang sedang nge-trend di masa Covid-19, saya juga baru tahu, ternyata mas AE memang biasa memanggil orang yang pertama kali dikenalnya dengan panggilan "Anda". Â
Itulah kesan pertama bertemu Mas AE.
Esoterika Islam
Saya sempat menamatkan pendidikan strata 2 jurusan Filsafat Islam di ICAS (Islamic Course for Advance Studies), sebuah lembaga Islam yang berkantor di London, yang bekerja sama dengan Universitas Paramadina (double degree). Kuliah tersebut nyaris tak selesai karena kesibukan dalam pekerjaan, kemalasan, dan hal lain yang tidak penting. Kalau bukan karena ultimatum terakhir dari pihak kampus untuk segera menyelesaikan, thesis saya pun mungkin tak akan pernah selesai. Kalaupun faktanya selesai itu pun dengan banyak perbaikan, dan catatan-catatan. Thesis saya mengkritik pemikiran atheisme-nya Richard Dawkins, profesor dari Oxford University dengan perspektif pengetahuan swabukti (self-evidence).
Saya sengaja mengambil kuliah S-2 Filsafat Islam lebih karena dorongan pribadi, kegelisahan dengan beberapa pertanyaan. Minat utama saya sebenarnya lebih pada mistisime Islam (tasawuf), namun banyak teman menyarankan sebaiknya menempuh terlebih dahulu studi pengetahuan rasional-empirik sebelum mendekat pada kajian mistisme. Karena ada banyak kabar, orang yang langsung melompat ke jalur mistisme tanpa lewati jalur-jalur rasional akhirnya banyak terjatuh pada banyak penyimpangan perilaku. Ada diantara mereka yang mengaku Imam Mahdi, menjadi penyelamat umat, bahkan ada yang mengaku menjadi nabi, yang mendapat wahyu dari malaikat Jibril dll.
Ketika Mas AE kemudian membuat group Esoterika Islam, dan memposting banyak sekali tulisan mengenai metafisika, itu benar-benar memantik dan menarik perhatian saya. Ia mengulas pemikiran Mulla Sadra, Ibn Arabi dll. Apalagi Mas AE juga memberikan ulasan, rekomendasi bacaan bermutu seputar tema tersebut. Dari group ini pula saya bisa mengenal lebih dekat Mas AE. Kami pun saling berbalas pesan. Sampai akhirnya bisa bertemu.
Pilihannya terhadap tema esoterika Islam saya duga karena beberapa alasan. Beberapa alasan dibawah ini bersifat spekulatif, yang belum sempat saya konfirmasikan langsung semasa hidupnya. Ini tafsir subyektif saya pribadi.
Pertama, kegelisahannya melihat penguatan pemahaman keagaman skriptualistik pemahaman Wahabi yang telah memberikan sumbu panas pada aksi-aksi intoleransi di ruang publik. Menurutnya perlawanan terhadap penyimpangan pemahaman ini hanya bisa dibendung dengan pendekatan filsafat dan mistisisme. Paham Wahabi nyaris mati di negara-negara yang memiliki tradisi berfikir filsafat serta kehadiran para sufi dengan orde-nya dalam bentuk tarikat dll. Ia meyakini hal itu dengan melihat fakta mandeg serta tenggelamnya perkembangan faham Wahabi di Iran yang memiliki tradisi filsafat yang kuat, serta Turki dengan tradisi tasawufnya. Sebaliknya di Indonesia, Wahabi seolah mendapatkan kapling terbuka luas, dimana kapling-kapling yang ada terlihat kosong, diabaikan oleh para pemikir Islam lokal yang cenderung mengejar kekuasaan. Sehingga dengan leluasa mereka mudah bergerak menguasai ruang publik. Apalagi dengan adanya bantuan  dan sokongan rezim Saudi, geliat Wahabi kian marak dimana-mana.
Kedua, Kegelisahan intelektual. Kegelisahan posiitif yang sering dialami banyak pemikir yang telah melewati begitu banyak jalur dan rute pencerahan rasionalitas, namun tetap belum merasakan penuh dan menetap kehadiran Sang Absolut dalam relung hati dan pikiran. Penempuh jalur ini seperti seorang buta yang mencoba menerka dan mengira-ngira jalan yang akan ditempuh berdasarkan tanda-tanda yang hanya disentuhnya. Betapapun jauhnya perjalanan rasionalitas, ia hanya akan menangkap partikularitas bukan universalitas. Inilah sebuah kegelisahan yang terus menerus mendorong Mas AE menemukan pintu tujuan akhir para pencari kebenaran.
Ketiga, telah terjadi over-acting dalam praktik keberagaman yang lebih menekankan aspek ekstorisme agama, mengabaikan aspek esoterisme. Perlahan kajian tasawuf, metafisika dan filsafat terpinggirkan, bahkan dianggap bidah, dan kafir, tergantikan dengan pembahasan teks sebatas ibadah dan urusan politik. Sehingga praktik keber-agama-an sarat penuh kepalsuan, menipu, bahkan membodohkan. Mengutip Frithjof Schoun, filosof perennial, "eksoteris" adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral pada sebuah agama. Sedangkan "esoteris" adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Keduanya seperti mata koin, harus sejalan, beriringan.
Keempat, perjalanan intelektual yang tiada henti. Mas AE berbeda dengan beberapa rekannya yang bergelut dengan tema-tema sosial yang akhirnya cenderung menjadikan mereka cenderung ke kiri, dan  atheis. Dengan esoterika Islam, ia seolah ingin memberikan pesan, adanya sebuah rute baru dari perjalanan intelektual yang harus dilaluinya.
Kembali Pulang ke Peristirahatan Panjang
Minggu, tanggal 12 yang lalu saya mendapat kabar, mas AE telah meninggalkan kita semua akibat penyakit Pnemonia (radang paru-paru) Â yang sudah lama dideritanya. Di tengah wabah Covid-19, dengan gejala sulit bernapas semula orang menduga ia positif Covid-19. Sehingga dengan gejala tersebut ia harus melewati 5 RS yang kesulitan merawatnya, sampai akhirnya di rawat di RS rujukan Covid-19, RS. Polri, Kramat Jati. Hasil Scwab atas tes Covid-nya ternyata negatif. Kondisinya terus membaik. Namun ternyata, Tuhan lebih menyayanginya, Mas AE menghembuskan nafasnya teakhir, meninggalkan orang-orang dikasihinya, keluarga serta para sahabat. Kita merasa sedih dan sangat kehilangan sosok mulia ini.
Saya merasa amat bersyukur dan beruntung bisa mengenal pribadi istimewa ini. Walaupun sangat singkat waktunya. Namun itu memberi banyak kenangan dan pengaruh besar buat saya. Dalam kurun waktu yang singkat, ia mengajarkan kesederhanaan, ketekunan, dan kemerdekaan. Ia berpulang dengan jejak kesederhanan hidup.
Dengan kecerdasannya yang diatas rata-rata, tentu banyak orang mengira Mas AE berkelimpahan materi. Namun dari cerita teman dan sahabat dekatnya, malah sebaliknya, Mas AE bahkan hidupnya terlalu sangat sederhana untuk ukurannya. Dia memilih menjauh dari kekuasaan, memilih jalannya yang sunyi, meninggalkan warisan penting buat para aktifis pejuang yaitu kemerdekaan, dan keterlibatan langsung merasakan dan menyuarakan denyut nurani  publik.
Kalaupun ada penyesalan, saya merasa belum begitu banyak mengenalnya lebih dekat secara personal dan ideologis. Belum banyak menimba pengalaman dan tempaan hidup sebagai seorang aktifis yang setia dengan pikiran dan memperjuangkannya. Â
Sebagaimana manusia pada umumnya  mas AE tentu bukan sosok sempurna. Tentu ia banyak kekurangan. Namun kita mengenalnya sebagai pribadi yang baik, rendah hati, dan peduli. Kita menjadi saksi bahwa dalam hidupnya Mas AE banyak mendedikasikan dirinya untuk kebaikan. Mas AE memang telah pergi meninggalkan kita, namun sejatinya spirit perjuangannya tetap tinggal bersama kita. Kalaupun ada yang pergi sesungguhnya adalah raganya dan waktu yang terlibat di dalamnya.
"Kita terpaku dalam ilusi mengira, bahwa kita telah tinggal (hidup), sedangkan para syahid telah pergi (wafat). Padahal sejatinya waktulah yang telah berlalu membawa kita pergi menjauh, sedangkan para syahid, mereka tetap tinggal (bersama masyarakat)-Morteza Aviny, pejuang syahid
Selamat beristirahat panjang mas AE, mendapatkan ampunan dan kedudukan tinggi di sisi-Nya. Doa kami selalu menyertai.
Taufiq Haddad, 14 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H