Hari ini suhu udara di daratan Eropa kian merosot. William Goodenough House, asrama mahasiswa tempat kami tinggal, mulai dikelilingi oleh gelombang-gelombang hembusan udara dingin. Setiap celah bangunan asrama seolah seperti rongga-rongga AC nomor satu dunia yang dapat mendinginkan seluruh ruangan gedung-gedung besar bertingkat secara merata. Setiap kali daun pintu keluar asrama terbuka, hembusan udara dingin pun segera saling berebut masuk dan perlahan mengusir udara hangat yang meresap keluar dari mesin-mesin listrik yang sedang digunakan para penghuni asrama. Panas tubuh setiap orang yang keluar secara alami juga ikut terbawa pergi terdorong oleh hawa dingin yang berangsur-angsur memenuhi seluruh ruangan.
Asrama yang berlokasi di jantung kota London di sudut Macklenburgh Square milik keluarga kerajaan Inggris ini bisa dikatakan cukup klasik. Berbeda dengan asrama lain yang umumnya cukup modern, di asrama ini, kaca-kaca jendela yang berada di setiap ruangan di dalam masing-masing flat tidak berlapis sehingga tidak berdaya terhadap serangan hembusan angin dingin. Dinding flat pun seolah tidak mampu membendung dinginnya gelombang udara yang membawa butiran-butiran air es yang terus menggumpal. Lantai flat kami tidak dilapisi karpet dan jajaran besi mesin penghangat ruangan pun belum diaktifkan. Alhasil, udara di dalam flat terasa cukup dingin.
Sebagai orang Asia yang belum pernah merasakan musim dingin, kami sangat terkejut ketika pertama kali mengetahui bahwa asrama William Goodenough House tidak memiliki penghangat ruangan yang bisa diatur per kamar sesuai kebutuhan. Penghangat diatur oleh asrama secara terpusat. Celakanya, penghangat baru akan diaktifkan jika sudah benar-benar masuk musim salju. Bagi orang-orang Eropa, udara awal musim dingin ibarat udara tengah malam di Jakarta bagi orang-orang Indonesia. Mereka tidak merasakan dingin yang merenggut tulang tetapi mereka sangat menikmatinya karena bagi mereka udara awal musim dingin hanya terasa sejuk saja. Oleh karena itu, banyak diantara mereka masih mengenakan pakaian terbuka ala musim panas.
Sementara angin musim dingin terus bersenandung di luar sana. Seolah-olah, aku bagai mendengar derapan brigade prajurit kerajaan Inggris yang sedang berkeliling sambil menyanyikan lagu "God Save the Queen". Pintu lemari pakaianku yang tidak tertutup rapat yang berada persis bersebrangan dengan jendela kamar tidurku pun ikut berdendang bagaikan gesekan biola usang. Plastik pembungkus roti yang terletak di tengah-tengah antara jendela dan lemari yang berada persis di sebelah laptopku pun ikut menciptakan alunan musik yang harmonis. Suara kertas terbolak-balik dari lembaran-lembaran berkas penting yang sedang dibaca istriku ikut menjaga ketukan ritme senandung hembusan angin dingin London.
Aku terus bertarung melawan dinginnya udara musim dingin Inggris sembari terus membaca buku sumber terakhir untuk tugas akhir mata kuliah Ancient World History. Aku sedang "membaca" buku "The Gilgamage Epics" dalam format PDF dan coba merampungkan makalah yang sedang ku tulis. Agar tidak menggigil, aku mengenakan setidaknya dua lapis pakaian. Aku mengenakan Long John, setelan pakaian dalam dengan bahan kaos yang biasa dikenakan oleh orang-orang saat musim dingin. Bagian atas Long John adalah kaos ketat berbahan katun yang berwarna abu-abu dan bagian bawahnya adalah celana panjang ketat yang juga berbahan kaos dan berwarna abu-abu. Aku juga melapisi tubuhku dengan kaos tebal berlengan panjang berkerah tinggi, berwarna merah, berbahan tebal dan berseleting dan celana panjang training berwarna biru gelap yang cukup tebal dan nyaman. Tak ketinggalan, aku juga memakai kaos kaki berwarna gelap yang cukup menghangatkan telapak kakiku.
Namun, tetap saja kedua tanganku berkali-kali rapat berlipat memeluk tubuhku. Kedua kaki ku pun juga terlipat rapi bersila duduk di atas kursi berbusa tipis beroda tiga. Sesekali kursiku bersuara seperti orang yang sedang diserang asma, ngik ngik ngik karena badanku menggigil dan menggoncangkan kursiku. Ya, aku memang kebetulan sedang kurang sehat sehingga udara terasa sangat dingin.
Ketika aku baru saja selesai mengrimkan tugas akhirku ke professor Sadria via e-mail, istriku yang sedang mempersiapkan bahan untuk mengajar di Kedutaan Besar Republik Indonesia London teriak gembira dan segera menghambur kea arah jendela. "Wow, Subhanallah! Kayak mimpi a." ungkapnya sembari terpesona akan apa yang sedang dilihatnya. Aku yang sedang sibuk dengan tugas kuliahku mencoba menanggapi sekenanya. "Memang kayak mimpi. Wong baru beberapa bulan lalu kita panas-panasan di Jakarta, sekarang lagi dingin-dinginan di London, di jantung kotanya lagi. Sampai sekarang aja aa masih berasa sedang mimpi," sahutku ringan. "Alhamdulillah ya Allah memberikan kado pernikahan spesial. Visa UK, tiket pesawat, bulan madu, studi S2, flat seharga 880 poundsterling per bulan, uang saku, kesehatan, bahkan freedom pass tiket transportasi se-UK semuanya gratis," tambahku. "Ya, Alhamdulillah wa syukurillah, dan sekarang neng lagi menikmati tanda-tanda kekuasaan Allah yang lain. Butiran-butiran putih halus turun dari langit," jelasnya sambil masih kaget dengan pemandangan dari jendela.
"Mulai turun salju ya neng? Subhanallah". tanyaku tak percaya. "Beberapa kawan yang sudah lama tinggal di sini bilang katanya sudah lama London tidak bersalju," tambahku sambil mengingat informasi yang pernah ku dengar. "Iya. Ada apa ya? Padahal masih di awal winter. Kita beruntung bisa mengalami salju di London," tambah istriku. "Iya, benar-benar beruntung. Lengkap pengalaman kita tinggal di luar negeri," kataku sambil terus mensyukuri apa yang sedang terjadi.
Spontan, aku lupa kalau aku sedang kurang sehat. Aku merasa segar bugar untuk mengalami dan menikmati langsung salju pertama ini. Istriku pun sangat antusias untuk merasakan rintik-rintik butiran salju. Kami pun bergegas ke luar flat. Aku segera mematikan laptop dan menutupnya. Kemudian, aku beranjak dari kursi yang sedang ku duduki dan segera berjalan ke kiri sembari menyusuri meja panjang dengan jari-jari tangan kananku dan tempat tidur dengan jari-jari tangan kiriku lalu melangkah serong ke kiri. Tangan kanan ku menggapai daun pintu yang setengah terbuka dan segera meraba ke arah dinding belakang pintu persis sebelah kanan lemari pakaian. "Nih dia." Aku menggapai sebuah besi kecil panjang berwarna putih dan segera keluar kamar.
Sekitar 2 meter di depanku, di depan pintu kamar anak yang kosong, istriku sedang mengenakan kerudungnya dan jaket tebal pemberian mbak Luluk. "Nih a, jaket tebal panjang yang dari Pak Dwi" kata istriku sembari memberikan jaket tersebut kepadaku. "Pak Dwi dan mbak Luluk baik benar ya. Alhamdulillah, sekarang gak khawatir kedinginan di luar" sahutku sembari mengenakan jaket yang panjang hingga lututku."
Ya, Pak Dwi dan Mbak Luluk, Mas Dono dan Mbak Lusi, Mas Susilo dan Mbak Rani, Pak Doni dan Mbak Ika, Bu Tatiek dan suami, Bu Mimi, Mas April, Fahmi, Fajar, Cecep dan Dina, Hakam, Ika dan semua orang Indonesia yang kami temui di London memang sangat baik dan tulus. Bahkan Iran dan Rashida, Kevin, Mercedes, Meriam dan semua kawan kami yang berasal dari negara lain pun sangat ramah dan baik. Kami sungguh merasa seperti punya keluarga besar baru. Kami benar-benar feel at home.
Setelah menyusuri koridor dua langkah, di depan kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, istriku berkata, "sebentar a, neng mau ambil kamera untuk dokumentasi salju pertama dalam hidup". Aku berdiri menghadap pintu flat kami menunggu istriku yang sedang mengambil kamera. Di belakangku adalah dapur flat kami yang memiliki peralatan cukup lengkap. Di sebelah kiriku adalah ruang tamu yang cukup luas seluas kamar tidur utama kami. Alhamdulillah, lagi-lagi ini semua adalah kado pernikahan spesial dari Sang Maha Pengasih dan Penyayang yang selalu memberikan skenario yang tidak pernah dapat diprediksi oleh manusia. Flat yang sekarang ini kami tinggali adalah seharusnya untuk pasangan yang memiliki satu anak karena flat ini cukup luas dengan satu kamar tidur utama, satu kamar anak, kamar mandi, dapur terpisah, dan ruang tamu yang luasnya sama dengan kamar tidur utama. Karena beberapa minggu lalu flat kami terbakar, kami jadi dipindahkan ke flat yang sekarang tanpa biaya apa pun.
Setelah istriku kembali, kami pun keluar. Dengan memegang sikut kanan istriku dengan tangan kiriku dan memegang besi putih dengan tangan kananku, aku mengikutinya sekitar setengah langkah dibelakangnya. Kami terus menyusuri koridor yang lebarnya sekitar 1 meter dan berkarpet tebal. Sekitar 5 meter dari pintu flat kami, di sisi sebelah kiri terdapat tangga ke bawah dan ke atas dan persis di depan kami terdapat pintu kaca. Kami lewati pintu itu dan terus melangkah. Dua meter setelah pintu itu, di sisi kanan adalah pintu flat lama kami yang pernah terbakar dan belum juga diperbaiki. Berseberangan dengan flat lama kami adalah flat sepasang suami istri asal Chili yang baik dan ramah. Kami terus melangkah lurus dan lalu belok kanan. Setelah sekitar 5 meter, kami tiba pada persimpangan yang tidak berkarpet. Kami belok kanan dan terus berjalan kearah pintu keluar untuk memasuki taman dalam asrama.
"Subhanallah indahnya pemandangan di luar!" ungkap istriku dengan penuh rasa tak percaya dan syukur. Pintu kaca untuk ke taman seolah seperti layar televisi kami ketika masih di Jakarta yang berkali-kali menampilkan indahnya pemandangan hujan salju dengan butiran-butiran putih halus terjatuh perlahan. Kami buka pintu kaca itu dan segera merasakan hembusan angin dingin menabrak muka dan seluruh tubuh kami yang diselimuti tiga lapis pakaian. kami terdiam sejenak memperhatikan sekeliling taman ini. "saljunya masih tipis tapi cukup terlihat jelas. pohon-pohon di pojok-pojok taman dan tanaman indah yang menghubungkan pohon-pohon kelihatan bergoyang karena tiupan angin." Istriku coba mendeskripsikan keadaan sekeliling. Kami lalu melangkah dan kemudian menuruni anak tangga.
Beberapa langkah setelah anak tangga terakhir, aku berdiri terdiam sembari merasakan salju yang turun perlahan diatas kepala dan pakaianku. Ku letakkan besi yang ku bawa di lantai. Kedua telapak tanganku terbuka dan ku hadapkan ke atas. Aku ingin merasakan butiran-butiran salju terjatuh di kulitku.
Aku masih tak percaya dengan apa yang ku alami saat itu. Ku mulai memperhatikan jaket hitam yang ku kenakan. Ku tengok bagian bahu kanan kiri, tangan kanan kiri dan bagian depan jaketku. Aku tak temukan warna lain selain hitam di jaketku.
"Mana neng saljunya? Kok gak kelihatan dan gak berasa?" tanyaku ke istri. Istriku segera menghampiri
"Itu di atas kepala aa sama di jaket udah ada salju yang nempel ko. Saljunya memang masih sedikit mungkin karena masih awal musim kali ya. Tapi ada beberapa tempat yang udah ketutup salju yang lumayan tebel. Di bangku taman, sebagian daun pepohonan dan atas jendela flat udah kelihatan ada tumpukan salju." Jelasnya.
"Oh ya! Wow, gak nyangka ya akhirnya kita ngalamin salju juga di London." Sahutku sembari terkesima.
"Nih, di jaket aa udah ada beberapa butiran salju yang nempel." Kata istriku sembari mengarahkan telunjuknya ke beberapa bagian jaketku yang sudah mulai dijatuhi dan ditempeli salju.
"Pandangan samarku pun segera terlempar ke bagian yang ditunjuk oleh istriku sembari mengarahkan telapak tanganku menyentuh es-es itu. "Oh ya, salju. Subhanallah!" kataku dengan antusias.
Tak lama, aku mulai merasakan butiran-butiran salju turun sedikit lebih deras. Seluruh anggota tubuhku yang tidak tertutup oleh pakaian dapat merasakan butiran salju yang lebih banyak. Telapak tanganku dan mukaku mulai kejatuhan es-es halus lebih banyak dari langit. Butiran es halus turun bergantian dari rambut, ke muka, jaket, celana dan akhirnya jatuh ke lantai. Salju-salju lembut yang melayang terhembus angin pun bergantian terlempar ke muka dan seluruh tubuhku. Aku benar-benar menikmati hujan salju ini. Senyumku melebar dan aku coba mengukirkan namaku di atas tumpukan salju yang mulai terkumpul di beberapa titik dengan besi panjang yang ku pegang. Aku berdoa dalam hati semoga kelak keturunanku juga dapat merasakan belajar di kota ini.
Istriku pun mulai mendokumentasikan pengalaman salju pertama ini. Ia memotret beberapa kali dan juga merekam video tingkah lucu kami yang norak dengan hujan yang belum pernah kami rasakan dalam hidup. Pengalaman salju pertama dalam hidup ini akan tertempel dengan kuat di album kenangan ingatan kami yang akan terus mengingatkan kami akan nikmat Sang Khalik yang tercurah berderai tanpa henti setiap saat.
Di tengah euforia kami, mendadak ada suara histeris gembira dari arah pintu masuk taman. Seorang ibu muda dan dua anak-anaknya berlari gembira menuruni tangga dan menghampiri kami. Kami pun segera menghentikan khayalan dan canda kami berdua sembari tersenyum kea rah mereka.
"This is our first snow. It doesn't snow in our country. So we're really amazed and excited!" ucap ibu muda itu dengan senyum yang melebar mengekspresikan air muka yang penuh rasa gembira.
"How about you? Is this also your first snow?" tanyanya dengan antusias.
"Yes. And we're very happy. Finally, we can experience this falling snow. I'm Ammar and this is my wife, Ifa" kataku sambil tersenyum dan memperkenalkan diri kami.
"I'm Erina and they're my kids. We're from Japan." Jawabnya dengan ramah.
"Nice to meet you Erina. We're from Indonesia" jawab istriku sembari menjabat tangannya.
Setelah berkenalan, kami berbincang-bincang dan menikmati pengalaman salju pertama ini dengan penuh rasa bahagia. Tak lama, Fumi dan kedua anaknya harus kembali ke flat mereka karena salah satu anaknya mulai merasa kedinginan. Kami pun beranjak dari bangku taman dan melangkah ke arah flat kami.
Di antara derap langkah halus kami menuju flat, seketika suasana berubah. Kami merasakan keheningan yang cukup mendalam. Kami berdua melangkah sambil tak bergeming. Kami tak berkata-kata. Kami diam bahagia penuh rasa syukur atas apa yang telah dianugerahkan kepada kami oleh Sang Maha Kaya. Butiran air mata syukur tak terasa mengalir hangat dari ujung-ujung kedua mata kami. Air hangat itu terus berlinang berjatuhan mendorong turun lapisan salju yang menempel pada pakaian kami. Bibir kami bergerak pelan tak bersuara.
Dalam hati kami terus mengucap rasa syukur yang tiada terkira atas beasiswa kuliah S2 di London ini. Sebelum kami, belum ada seorang pun di keluarga besar kami yang pernah ke luar negeri. Kami berdua berasal dari keluarga yang rasanya bahkan tidak pernah bisa bermimpi untuk tinggal di luar negeri, apalagi di London. Ternyata hal yang dulunya tidak mungkin, setelah beberapa waktu kemudian, menjadi mungkin dan terwujud. Ternyata perjuangan dan doa bertahun-tahun lamanya berbuah indah.
Untukku pribadi, ini adalah kado paling berharga setelah melalui perjuangan merentas penderitaan, ketidak adilan, dan tantangan hidup spesial. Aku mulai teringat masa-masa lalu ketika aku nyaris kehilangan akal sehatku atas hilangnya sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Masa remajaku harus sirna karena rentetan tragedy-tragedi masa kecilku. Aku tak bisa diam, aku tak beruntung, aku beberapa kali celaka. Di ruang gelap aku menangis, merenung, menderita selama beberapa tahun lamanya. Aku terputus dengan dunia luar. Aku terputus dengan sorak-sorai kegembiraan masa remaja. Aku sesak, mata ku berkaca-kaca dan bibir serta tubuhku gemetar tiap kali ku saksikan kedua orangtuaku frustrasi lantaran tak berdaya mengembalikan apa yang baru saja terambil dariku. Namun, dorongan yang begitu kuat untuk membuat kedua orangtuaku bahagia membuat aku bangkit dari keterpurukan dan berjuang di dalam gelap mewujudkan mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H