Istriku pun mulai mendokumentasikan pengalaman salju pertama ini. Ia memotret beberapa kali dan juga merekam video tingkah lucu kami yang norak dengan hujan yang belum pernah kami rasakan dalam hidup. Pengalaman salju pertama dalam hidup ini akan tertempel dengan kuat di album kenangan ingatan kami yang akan terus mengingatkan kami akan nikmat Sang Khalik yang tercurah berderai tanpa henti setiap saat.
Di tengah euforia kami, mendadak ada suara histeris gembira dari arah pintu masuk taman. Seorang ibu muda dan dua anak-anaknya berlari gembira menuruni tangga dan menghampiri kami. Kami pun segera menghentikan khayalan dan canda kami berdua sembari tersenyum kea rah mereka.
"This is our first snow. It doesn't snow in our country. So we're really amazed and excited!" ucap ibu muda itu dengan senyum yang melebar mengekspresikan air muka yang penuh rasa gembira.
"How about you? Is this also your first snow?" tanyanya dengan antusias.
"Yes. And we're very happy. Finally, we can experience this falling snow. I'm Ammar and this is my wife, Ifa" kataku sambil tersenyum dan memperkenalkan diri kami.
"I'm Erina and they're my kids. We're from Japan." Jawabnya dengan ramah.
"Nice to meet you Erina. We're from Indonesia" jawab istriku sembari menjabat tangannya.
Setelah berkenalan, kami berbincang-bincang dan menikmati pengalaman salju pertama ini dengan penuh rasa bahagia. Tak lama, Fumi dan kedua anaknya harus kembali ke flat mereka karena salah satu anaknya mulai merasa kedinginan. Kami pun beranjak dari bangku taman dan melangkah ke arah flat kami.
Di antara derap langkah halus kami menuju flat, seketika suasana berubah. Kami merasakan keheningan yang cukup mendalam. Kami berdua melangkah sambil tak bergeming. Kami tak berkata-kata. Kami diam bahagia penuh rasa syukur atas apa yang telah dianugerahkan kepada kami oleh Sang Maha Kaya. Butiran air mata syukur tak terasa mengalir hangat dari ujung-ujung kedua mata kami. Air hangat itu terus berlinang berjatuhan mendorong turun lapisan salju yang menempel pada pakaian kami. Bibir kami bergerak pelan tak bersuara.
Dalam hati kami terus mengucap rasa syukur yang tiada terkira atas beasiswa kuliah S2 di London ini. Sebelum kami, belum ada seorang pun di keluarga besar kami yang pernah ke luar negeri. Kami berdua berasal dari keluarga yang rasanya bahkan tidak pernah bisa bermimpi untuk tinggal di luar negeri, apalagi di London. Ternyata hal yang dulunya tidak mungkin, setelah beberapa waktu kemudian, menjadi mungkin dan terwujud. Ternyata perjuangan dan doa bertahun-tahun lamanya berbuah indah.
Untukku pribadi, ini adalah kado paling berharga setelah melalui perjuangan merentas penderitaan, ketidak adilan, dan tantangan hidup spesial. Aku mulai teringat masa-masa lalu ketika aku nyaris kehilangan akal sehatku atas hilangnya sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Masa remajaku harus sirna karena rentetan tragedy-tragedi masa kecilku. Aku tak bisa diam, aku tak beruntung, aku beberapa kali celaka. Di ruang gelap aku menangis, merenung, menderita selama beberapa tahun lamanya. Aku terputus dengan dunia luar. Aku terputus dengan sorak-sorai kegembiraan masa remaja. Aku sesak, mata ku berkaca-kaca dan bibir serta tubuhku gemetar tiap kali ku saksikan kedua orangtuaku frustrasi lantaran tak berdaya mengembalikan apa yang baru saja terambil dariku. Namun, dorongan yang begitu kuat untuk membuat kedua orangtuaku bahagia membuat aku bangkit dari keterpurukan dan berjuang di dalam gelap mewujudkan mimpi.