Mohon tunggu...
Taufiq Effendi
Taufiq Effendi Mohon Tunggu... -

Taufiq Effendi adalah seorang pemula di dunia blogging. Dia tertarik untuk bergabung di kompasiana setelah “menyelam” sebentar di lingkungan komunitas kompasiana pada peluncuran buku kedelapan Pak Wijayakusuma di Bank Indonesia tanggal 28 April 2012, di Thamrin, Jakarta. Saat ini dia berusaha belajar untuk lebih mengenal dunia blogging dan website. Oleh karena itu kali ini dia akan memulai mem-post tulisannya yang di publish di www.motivasibeasiswa.org sebagai pembuka. Taufiq Effendi adalah seorang tunanetra. Dia kehilangan penglihatan mata kanannya pada usia 10 tahun dan kehilangan sebagian besar penglihatan mata kirinya pada usia 15 tahun. Dia menjadi tunanetra akibat kecelakaan dan sederetan benturan di masa kecil. Dia putus sekolah bertahun-tahun sampai akhirnya berjuang menggapai mimpi-mimpinya. Saat ini dia bekerja sebagai salah seorang pengajar di Center for Civic Education Indonesia untuk program beasiswa Access Microscholarship dari pemerintah Amerika Serikat. Dia juga mengajar TOEFL di Universitas Negeri Jakarta untuk Mata Kuliah Bahasa Inggris. Di usianya saat ini dia sudah berhasil meraih 8 beasiswa luar negeri dan telah merasakan keliling dunia gratis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Salju Pertama

15 Mei 2012   05:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:17 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setelah menyusuri koridor dua langkah, di depan kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, istriku berkata, "sebentar a, neng mau ambil kamera untuk dokumentasi salju pertama dalam hidup". Aku berdiri menghadap pintu flat kami menunggu istriku yang sedang mengambil kamera. Di belakangku adalah dapur flat kami yang memiliki peralatan cukup lengkap. Di sebelah kiriku adalah ruang tamu yang cukup luas seluas kamar tidur utama kami. Alhamdulillah, lagi-lagi ini semua adalah kado pernikahan spesial dari Sang Maha Pengasih dan Penyayang yang selalu memberikan skenario yang tidak pernah dapat diprediksi oleh manusia. Flat yang sekarang ini kami tinggali adalah seharusnya untuk pasangan yang memiliki satu anak karena flat ini cukup luas dengan satu kamar tidur utama, satu kamar anak, kamar mandi, dapur terpisah, dan ruang tamu yang luasnya sama dengan kamar tidur utama. Karena beberapa minggu lalu flat kami terbakar, kami jadi dipindahkan ke flat yang sekarang tanpa biaya apa pun.

Setelah istriku kembali, kami pun keluar. Dengan memegang sikut kanan istriku dengan tangan kiriku dan memegang besi putih dengan tangan kananku, aku mengikutinya sekitar setengah langkah dibelakangnya. Kami terus menyusuri koridor yang lebarnya sekitar 1 meter dan berkarpet tebal. Sekitar 5 meter dari pintu flat kami, di sisi sebelah kiri terdapat tangga ke bawah dan ke atas dan persis di depan kami terdapat pintu kaca.  Kami lewati pintu itu dan terus melangkah. Dua meter setelah pintu itu, di sisi kanan adalah pintu flat lama kami yang pernah terbakar dan belum juga diperbaiki. Berseberangan dengan flat lama kami adalah flat sepasang suami istri asal Chili yang baik dan ramah. Kami terus melangkah lurus dan lalu belok kanan. Setelah sekitar 5 meter, kami tiba pada persimpangan yang tidak berkarpet. Kami belok kanan dan terus berjalan kearah pintu keluar untuk memasuki taman dalam asrama.

"Subhanallah indahnya pemandangan di luar!" ungkap istriku dengan penuh rasa tak percaya dan syukur. Pintu kaca untuk ke taman seolah seperti layar televisi kami ketika masih di Jakarta yang berkali-kali menampilkan indahnya pemandangan hujan salju dengan butiran-butiran putih halus terjatuh perlahan. Kami buka pintu kaca itu dan segera merasakan hembusan angin dingin menabrak muka dan seluruh tubuh kami yang diselimuti tiga lapis pakaian. kami terdiam sejenak memperhatikan sekeliling taman ini. "saljunya masih tipis tapi cukup terlihat jelas. pohon-pohon di pojok-pojok taman dan tanaman indah yang menghubungkan pohon-pohon kelihatan bergoyang karena tiupan angin." Istriku coba mendeskripsikan keadaan sekeliling. Kami lalu melangkah dan kemudian menuruni anak tangga.

Beberapa langkah setelah anak tangga terakhir, aku berdiri terdiam sembari merasakan salju yang turun perlahan diatas kepala dan pakaianku. Ku letakkan besi yang ku bawa di lantai. Kedua telapak tanganku terbuka dan ku hadapkan ke atas. Aku ingin merasakan butiran-butiran salju terjatuh di kulitku.

Aku masih tak percaya dengan apa yang ku alami saat itu. Ku mulai memperhatikan jaket hitam yang ku kenakan. Ku tengok bagian bahu kanan kiri, tangan kanan kiri dan bagian depan jaketku. Aku tak temukan warna lain selain hitam di jaketku.

"Mana neng saljunya? Kok gak kelihatan dan gak berasa?" tanyaku ke istri. Istriku segera menghampiri

"Itu di atas kepala aa sama di jaket udah ada salju yang nempel ko. Saljunya memang masih sedikit mungkin karena masih awal musim kali ya. Tapi ada beberapa tempat yang udah ketutup salju yang lumayan tebel. Di bangku taman, sebagian daun pepohonan dan atas jendela flat udah kelihatan ada tumpukan salju." Jelasnya.

"Oh ya! Wow, gak nyangka ya akhirnya kita ngalamin salju juga di London." Sahutku sembari terkesima.

"Nih, di jaket aa udah ada beberapa butiran salju yang nempel." Kata istriku sembari mengarahkan telunjuknya ke beberapa bagian jaketku yang sudah mulai dijatuhi dan ditempeli salju.

"Pandangan samarku pun segera terlempar ke bagian yang ditunjuk oleh istriku sembari mengarahkan telapak tanganku menyentuh es-es itu. "Oh ya, salju. Subhanallah!" kataku dengan antusias.

Tak lama, aku mulai merasakan butiran-butiran salju  turun sedikit lebih deras. Seluruh anggota tubuhku yang tidak tertutup oleh pakaian dapat merasakan butiran salju yang lebih banyak. Telapak tanganku dan mukaku mulai kejatuhan es-es halus lebih banyak dari langit. Butiran es halus turun bergantian dari rambut, ke muka, jaket, celana dan akhirnya jatuh ke lantai. Salju-salju lembut yang melayang terhembus angin pun bergantian terlempar ke muka dan seluruh tubuhku. Aku benar-benar menikmati hujan salju ini. Senyumku melebar dan aku coba mengukirkan namaku di atas tumpukan salju yang mulai terkumpul di beberapa titik dengan besi panjang yang ku pegang. Aku berdoa dalam hati semoga kelak keturunanku juga dapat merasakan belajar di kota ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun