Di tahun berikutnya, setelah empat kali gagal melamar beasiswa S2, aku berhasil memperoleh beasiswa MA in Muslim Culture di London dari Aga Khan University. Namun, di tengah studiku, istriku mengalami kehamilan yang berat sehingga dia harus dirawat di University College Hospital di London sampai tiga kali. Kami adalah pasangan muda yang belum paham bagaimana cara membuat perencanaan keluarga. Akhirnya kampusku menyarankan agar aku cuti kuliah dan kembali ke Indonesia. Aku tidak frustrasi. Aku yakin Allah sedang mempersiapkan skenario yang terbaik untukku dan keluargaku. Walau aku gagal melanjutkan MA ku di London karena beberapa masalah, Allah menerbangkanku lagi ke beberapa negara.
Sebelum aku meninggalkan London, aku nekat mencoba beasiswa ICT training dari Japan Braille Library yang diselenggarakan di Malaysia. Ternyata, aku lulus dan setelah pulang dari London, aku terbang ke Penang, Malaysia. Aku pulang membawa ilmu baru, keterampilan baru, laptop baru dan segala kelengkapannya serta sejumlah uang saku yang ku hemat-hemat untuk biaya persalinan istriku.
Setelah itu, aku diterima kerja di kantorku yang sekarang, Center for Civic Education Indonesia, sebuah yayasan yang menjalankan program-program pendidikan atas dana pemerintah Amerika Serikat. Baru beberapa bulan mengajar sebagai pengajar untuk program beasiswa belajar bahasa Inggris gratis selama dua tahun untuk ratusan murid SMA/SMK dari keluarga yang tidak mampu, aku memperoleh beasiswa dari US Department of State untuk menghadiri teacher training and workshop selama tiga minggu di INTO Oregon State University, Corvallis, Oregon, USA. Persis dua tahun berikutnya aku mendapat beasiswa lagi dari US Department of State untuk menimba ilmu pengajaran bahasa Inggris selama 10 minggu dari University of Oregon, Eugene, Oregon, USA.
Saat ini, aku sedang menjalani hari-hari penuh harapan untuk mewujudkan sederetan mimpi-mimpiku yang lain. Aku baru saja baca email bahwa aku lulus seleksi untuk Australian Leadership Award yang akan mulai tanggal 27 Agustus dan berakhir tanggal 21 September. Sementara, aku dijadwalkan mengikuti Pre-Departure Training mulai selama delapan minggu mulai dari 16 Juli hingga 21 September sebelum memulai kuliah di Australia dengan beasiswa dari Australian Development Scholarship. Aku bingung harus bagaimana. Alhamdulillah Allah merekap semua doaku dalam satu tahun. Aku juga sedang berusaha merampungkan novel perdanaku yang akan menjadi pembuka menuju pencapaian daftar panjang mimpi-mimpi besarku.
Pesanku untuk masyarakat Indonesia:
Bermimpilah! Biarkanlah anak-anak kita, anak-anak didik kita bermimpi sesukanya selama mimpi itu positif. Sering kali kata “mustahil” memiliki makna yang relatif. Kata ini sangat tergantung kepada pengalaman masing-masing individu. Pergi ke negara lain adalah hal yang mustahil bagi kedua orangtuaku sebelum akhirnya aku buktikan bisa. Kuliah juga mungkin untuk sebagian masyarakat kita masih merupakan hal yang mustahil. Sering kali, hal yang dianggap mustahil setelah berusaha keras menjadi mungkin. Mimpi akan menentukan masa depan anak-anak kita. Mimpi akan menentukan masa depan generasi penerus kita. Mimpi akan menentukan bangsa kita akan menjadi apa kelak. Mimpi akan menuntun doa kita, menuntun langkah kita, memecut usaha kita untuk terus berjuang, dan mimpi akan melemparkan kita semua melayang terbang menggapai bintang berkilauan.
Taufiq Effendi
Head teacher at CCEI for English Access Microscholarship Program
Dosen honorer UNJ
Self-employed trainer/motivator/translator/interpreter/proof-reader
Facebook: http://www.facebook.com/taufiq.effendi