Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Tanggapan" terhadap HN, Penulis Artikel "Kesalahan Berpikir Masyarakat Pekerja di Indonesia"

2 November 2020   16:47 Diperbarui: 2 November 2020   19:22 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan sebelumnya di Kompasiana (20/10/20), "Kesalahan Berpikir Masyarakat Pekerja di Indonesia", yang ditulis Hara Nirankara (HN), yang menjadi artikel utama, saya mendapati beberapa bagian tulisan sangat menarik, yang mengomentari rencana Tesla Elon Musk membangun pabrik di Batang, Jateng. Dan, tentu saja, ada juga bagian tulisan menarik lainnya tentang polemik antara yang setuju dan yang tidak setuju.

Tetapi, pertama, saya merasa perlu menyampaikan, bahwa saya sengaja memberi tanda kutip pada kata tanggapan, semata-mata untuk menyampaikan informasi bahwa tulisan ini tidak benar-benar bermaksud ingin mengomentari atau menanggapi pendapat Hara Nirankara seperti yang dipublikasikan. Tulisan ini hanya pendapat berbeda (saya) dalam semesta cerita dan persoalan.

Tapi kali ini topik bahasan atau ulasannya akan saya geser sedikit. Saya tidak ingin membahas mengenai studi amdal pabrik Tesla Elon Musk sebab saya bukan praktisi dan tidak merasa ahli dalam hal lingkungan. Pun tentang polemik antara yang setuju dan yang tidak setuju. Saya tidak perlu menangggapi. 

Saya dan termasuk Anda yang berada di tengah-tengah dan mengikuti polemik, soal apapun, tahu bahwa mencari titik temu dari perdebatan-perdebatan yang mengemukakan dalil-dalil yang diyakini paling benar menurut masing-masing pihak memang tidak akan pernah mudah. Saya masih teguh meyakini kalimat bijak bahwa hanya karena satu pihak merasa benar, maka bukan berarti pihak yang lain itu salah.

Dalam ruang-ruang perdebatan, sekali lagi, soal apapun, pihak yang satu - seperti halnya pihak yang lain, pasti memuja-muja dalil yang dibawa dan dikemukakannya, lengkap dengan segala pesonanya.

Jadi, jika begitu, apa yang ingin saya tulis?

Hara Nirankara, dalam artikelnya itu, menuliskan bahwa dengan banyaknya pabrik yang berdiri, akan semakin merusak ekosistem alam Indonesia. Bisa dengan terjadinya deforestasi yang menyebabkan banyak hewan kehilangan habitat. Bisa juga terjadi melalui reklamasi yang semakin memperparah abrasi, dan penurunan permukaan tanah, hingga potensi tsunami.

Hara Nirankara benar. Bahwa industrialisasi, pendirian pabrik apapun, memang mungkin akan semakin merusak ekosistem alam. Saya setuju dengan pendapat ini.

Tetapi, kembali, kita hampir lupa kepada fakta bahwa di dunia ini nyaris tidak ada satupun industrialisasi yang benar-benar bisa 100% menyelesaikan tiga masalah utama, yaitu: murah, andal, dan ramah lingkungan. Industri yang seperti apapun, hemat saya, pasti hanya menjawab satu, atau dua, atau dua setengah masalah utama tersebut. Tidak ada yang benar-benar bisa menjawab ketiganya sekaligus. Tidak juga Tesla Elon Musk.

Jadi, inilah topik yang ingin saya ulas. Untuk membuat kita lebih paham, ijinkan saya mengambil salah satu contoh, misalnya, tentang pembangkit listrik.

Banyak pihak mengutarakan pendapatnya tentang "kebaikan" Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Tetapi, coba kita lihat juga, berapa banyak diantara kita yang mempertanyakan yang sebaliknya; apakah kebaikan PLTU itu sebanding dengan kerusakan yang dihasilkannya? Sebut saja, misalnya, pertanyaan-pertanyaan idealis yang mempertanyakan mengapa kita atau pemerintah masih saja mengoperasikan PLTU ketimbang menggunakan sumber energi lain yang ramah lingkungan, misalnya, tenaga panas bumi atau geothermal?

Ya, ya, siapa tidak kenal PLTU? Anda pasti paham PLTU. PLTU adalah pembangkitan listrik yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi. Banyak orang berpendapat bahwa PLTU itu kotor, tidak bersih, menimbulkan kerusakan, dan merusak lingkungan. Jika Anda tahu dan setuju - Anda berarti sama dengan saya.

Tetapi, mengapa kita masih mengoperasikannya?

Baiklah. Agar kita juga memeroleh perbandingan, mari kita juga membahas sedikit mengenai energi geotermal, salah satu sumber energi terbarukan, yang digadang-gadang bisa menjadi pengganti PLTU yang kotor itu. Banyak pihak mengutarakan pendapatnya bahwa energi panas bumi atau geothermal itu ramah lingkungan karena tidak menyebabkan pencemaran, tidak menghasilkan emisi karbon, dan tidak menghasilkan gas cairan atau material beracun.

Saya setuju dengan pesan di atas...

Tetapi, tampaknya, kita kerap lupa bahwa bukankah letak panas bumi di Indonesia umumnya berada di kawasan konservasi atau hutan lindung? Maka, menurut logika gampangan saya, bukankah membuat PLTP berarti juga membuka wilayah baru, di wilayah konservasi itu, yang berarti terjadi deforestasi yang menyebabkan banyak hewan kehilangan habitatnya?

Dengan dalih tersebut, orang-orang atau organisasi lingkungan atau masyarakat yang kuatir akan dampak lingkungan punya legitimasi kuat untuk melakukan penolakan pembukaan wilayah kerja panas bumi yang ada di kawasan konservasi. Pembukaan lahan atau dampak pengeboran untuk mengambil panas bumi pasti akan mengakibatkan kondisi lahan menjadi tidak stabil. Selain itu, pembukaan lahan juga dikuatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistim serta flora dan fauna yang dilindungi dan ada di dalam kawasan.

Artinya apa?

PLTU dan Geotermal sama-sama tidak menyelesaikan "masalah".

Eh, sebentar, bukankah masih ada opsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)? Pertama, PLTS itu bersih. Kedua, bukankah, PLTS tidak harus dibangun di daerah konservasi?  

Pendapat di atas itu sangat benar. Laman Green Match yang saya baca menyebutkan bahwa energi matahari adalah sumber energi listrik yang memiliki dampak paling sedikit terhadap lingkungan ketimbang sumber energi yang lain. Sebab, energi matahari tidak menghasilkan efek gas rumah kaca, tidak mencemari air, dan tidak menimbulkan kebisingan.

Intinya; asal ada sinar matahari, energi matahari dapat digunakan di mana saja.

Namun, meskipun dianggap baik, tetapi fakta yang terjadi adalah; pemanfataan tenaga matahari ternyata masih saja terkendala (di Indonesia). Tidak seperti yang diangan-angankan. Mengapa? 

Salah satu sebabnya adalah: biayanya mahal. Dari beberapa informasi yang saya baca, untuk menghasilkan setiap 1 MWp, investor membutuhkan biaya tidak kurang dari Rp26 miliar (bahkan ada yang mengatakan USD 2.500.000 per MWp). Maka, jika kita ingin membangun PLTS yang memiliki kapasitas 10.000 MW saja, maka total biaya yang dibutuhkan adalah sekitar Rp260 triliun.

Apakah Rp260 triliun itu mahal? Jelas mahal. Dan, karena alasan inilah, maka, kita sampai hari ini masih saja bergantung kepada PLTU. Sebuah kenyataan yang tidak bisa kita bantah.

Beberapa orang mengemukakan pendapatnya bahwa industrialisasi itu harus ramah lingkungan - seperti yang ditulis Hara Nirankara, dalam artikel "Kesalahan Berpikir Masyarakat Pekerja di Indonesia".

 Ini bukan pendapat yang salah. Tetapi, sayangnya, sekali lagi, seperti saya tulis juga di bagian atas artikel ini, bahwa tak ada satu pun jenis industrialisasi yang mampu menyelesaikan tiga masalah ini sekaligus; murah, andal, dan ramah lingkungan. Ada satu industri yang murah dan andal, tetapi tidak ramah lingkungan. Sebaliknya, ada yang ramah lingkungan, tapi tidak murah dan tidak andal.

Akhirnya, suka atau tidak suka, kita memang harus memilih berdamai dengan industri yang menurut kita adalah yang terbaik- setidaknya menurut analisa berdasarkan kondisi saat ini. Begitu juga Tesla Elon Musk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun