Fakta dan kabar tentang Foxconn di Zhengzhou itu sangat menarik, saya pikir. Ia tidak saja merepresentasikan kemampuan manufaktur Tiongkok yang tangguh ditengah-tengah upaya dan dorongan kuat dari Amerika untuk melakukan pemisahan, antara ekonomi China dan AS, tetapi juga cukup mengagetkan.
Sudah lebih dari dua tahun hingga kini Amerika danTiongkok masih terus berkutat dalam bingkai perang dagang. Pertanyaan terbesar saya: mengapa iPhone 12 tetap saja dibuat di Tiongkok, di Foxconn yang sedang ramai itu, sedangkan kedua pemimpinnya sedang berseteru?
Kesimpulan apa yang bisa menjelaskan ini?
Mantan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) periode 2014-2019, Arcandra Tahar punya alasan menarik untuk menjawab pertanyaan saya. Arcandra pernah mengatakaan (waktu ia berbicara mengenai investasi hulu migas beberapa waktu lalu) bahwa investasi itu tidak melulu soal keadaan politik di satu negara.
Menurutnya, mayoritas investor akan masuk ke dalam proyek migas yang dinilai bisa memberikan profit yang baik bagi perusahaan. "Investasi tidak mengenal kewarganegaraan. Artinya, di mana ada investasi yang menguntungkan, dia akan masuk," katanya dalam satu diskusi daring.
Arcandra Tahar bisa jadi sangat benar. Saya juga sudah mendengar pendapat beberapa teman saya, yang kebetulan menjadi pemilik bisnis, yang mengatakan seperti itu. Mereka itu hampir serupa dengan generasi milenial yang melek teknologi informasi yang, umumnya, tidak tertarik dengan urusan politik. Mereka sangat apatis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H