Matahari masih tampak rendah di ufuk timur. Cahayanya yang kuning tua tampak berkilat indah di langit Seoul. Dari jendela pesawat, Incheon International Airport terlihat sangat menawan. Perlahan pesawat Boeng yang saya naiki mulai menurunkan rodanya.
Itulah momen pagi yang menyambut saya ketika pertama kalinya saya menginjakkan kaki di luar negeri. Seperti mimpi!
Itu terjadi pada tahun 1999.
Sengaja ku tuliskan sedikit kisah di atas sebagai pembuka cerita sekaligus ingin memberitahu Anda itulah awal atau tahun pertama kalinya saya memulai kehidupan baru - menjadi seorang ayah yang (seperti) tak memiliki keluarga.Â
Itulah awal saya menjalani pernikahan jarak jauh (long distance marriage alias LDM) hingga kini. Long distance marriage, topik yang akan saya bagikan kepada Anda hari ini.
Flashback sedikit, yah. Saya menikah pada tahun 1997. Setelah berpindah-pindah tempat pekerjaan dan perusahaan, dan setelah keinginan memperoleh hidup yang lebih baik begitu menggebu, saya mulai tergoda untuk melamar bekerja di perusahaan asing atau perusahaan-perusahaan multinasional. Dan, barangkali sudah menjadi takdir-Nya, saya akhirnya tersesat di Seoul, Korea.
Di sini, di negeri empat musim ini, saya bekerja di industri ship building, selama 2 tahun. Dan, di sini juga, saya akan memulai menjalani kehidupan sangat sulit pada bulan-bulan pertama saya di luar negeri.
Menjalani long distance marriage atau pernikahan jarak jauh memang sangat sulit bagi saya terutama pada awal atau tahun pertama. Di Korea, setiap hari saya selalu ingat keluarga yang saya tinggalkan.Â
Saya ingat rumah. Ingat kebiasaan istri saya yang selalu menciumi tangan saya usai saya mengantarkannya bekerja setiap hari. Lalu menjemputnya pulang setiap sore hari.Â
Kami bercanda di sedel sepeda motor. Membeli tauwa langganan kami di pinggir sungai Gunungsari Surabaya dan bersama-sama kami menyantapnya. Kenangan dan momen itu begitu indah.
Tetapi, ya, saya tidak boleh lemah. Kembali, keputusan ada di tangan saya dan saya sudah memutuskannya. Saya sudah menuliskan harapan saya dalam sebuah cita-cita dengan tulisan sangat besar: saya harus bekerja di perusahan besar untuk menyelamatkan masa depan keluarga saya!
Masalah dalam Menjalani Pernikahan Jarak Jauh
Setiap orang yang menjalani pernikahan jarak jauh pasti memiliki masalahnya sendiri-sendiri, tidak terkecuali saya. Masalah itu bisa sangat beragam. Pada bulan pertama dan kedua, saya kerap merasakan gelisah, was-was, deg-degan yang datang menyergap begitu saja tanpa ada alasan dan bukti jelas.
Hanya gara-gara telepon saya tidak diangkat istri saya, pikiran saya sudah ke mana-mana, mulai dari kekhawatiran apakah istri saya sedang lembur di kantor atau sedang pergi dengan seseorang, apakah ia sudah pulang kerja dengan selamat, kepada siapa ia berbagi cerita dan kesah seperti yang ia lakukan sepulang bekerja, dan lain-lain. Tapi saya pikir: saya harus tak peduli! Saya tidak boleh dikalahkan perasaan negatif saya. Saya harus bisa!
Jika saya terus menerus khawatir dan kalah oleh perasaan saya, saya mungkin tidak akan bisa bekerja dengan baik atau barangkali saya akan dipulangkan jauh hari sebelum kontrak saya selesai. Harapan saya dalam sebuah cita-cita hanya sekedar harapan. Tidak lebih! Â
Saya harus kuat. Itulah yang membuat saya kemudian berkomitmen dalam larik-larik kalimat yang lantang saya suarakan: Saya tidak boleh cemburu, tidak boleh kuatir, saya harus percaya dia, dia akan baik-baik saja, dan saya tidak boleh lemah.
Ini Tips-tips Saya Menjaga Pernikahan Jarak Jauh
Apakah komitmen saya tersebut cukup? Tidak. Inilah tips-tips sederhana yang ingin saya bagikan kepada Anda bagaimana saya menjaga hubungan jarak jauh saya.
Pertama; menjaga rahasia rumah tangga. Sedikitpun saya tak pernah berfikir atau berkeinginan untuk curhat, memintai teman atau kerabat dekat saran ketika hubungan saya mengalami masalah atau sedikit pertengkaran. Pun dengan orang tua saya sendiri.Â
Curhat atau meminta saran, bagi saya, mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Jika kami sedang marahan, kami biasa tidak melakukan komunikasi hingga satu atau dua minggu.
Satu hal yang kupelajari dan kubuktikan dari waktu. Ia bukan hanya mampu mengubah keadaan, tapi ia juga sanggup mengubah perasaan seseorang.
Kedua; untuk membunuh sepi, saya membiasakan diri mencari kesibukan atau aktivitas positif lainnya selain bekerja, seperti; aktif dalam organisasi profesi, belajar menulis, atau aktif di kegiatan-kegiatan tertentu atau keagamaan.Â
Sibuk membuat saya lelah dan lantas tidur. Dan, esok saya harus kembali bekerja. Saya harus membuat saya tak memiliki waktu untuk untuk memikirkan hal-hal lain selain hanya bekerja.
Ketiga; saya tidak boleh egois. Saya tidak boleh menuntut istri saya mengikuti pendapat saya. Ketika pembicaraan sudah mulai menemukan jalan buntu, atau ketika tiba-tiba saya berdebar-debar, saya biasa merespons dengan cara menyudahi pembicaraan dengan mengatakan (berpura-pura) pulsa saya mulai menipis.Â
"Sudah ya, ma. Sudah mendengar bunyi tit -tit- tit - pulsa saya tinggal dua menit, nih," begitulah saya kerap berdalih. Â Â Â
Keempat; kepercayaan adalah segala-galanya. Kepercayaan adalah keyakinan. Saya harus memiliki keyakinan bahwa istri saya masih setia dan ia akan baik-baik saja. Layaknya sebuah bangunan, kepercayaan menjadi landasan dan pondasi sebuah hubungan.
Kedengarannya (ke-empat tips di atas) seperti teori. Tetapa, ya, hanya itulah yang menyelamatkan saya..
---
Masa terus berganti. Hari dengan cepat berganti bulan dan tahun. Dan, singkat cerita, saya tiba-tiba sudah 2 tahun lebih tinggal di Korea dan bisa "bertahan" untuk tidak pulang ke Indonesia. Dan, ya, Alhamdulillah, keluarga saya baik-baik saja setelah saya pulang.
Setelah saya pulang dari Korea, ternyata saya keterusan dan sulit menolak setiap saya menerima tantangan baru. Saya terus berpindah-pindah tempat pekerjaan dan pernah tinggal di kota-kota di Kalimantan, Sumatera, Riau kepulauan, Thailand, Malaysia, Eropa dan tempat-tempat lainnya.Â
Itu saya lakukan terus menerus sampai akhirnya saya "lelah" dan memutuskan Jakarta sebagai "tempat terakhir" saya berkarir. Itu saya lakukan mulai 2013 hingga saat ini.
Sekarang, saya bukanlah seseorang yang mudah dikalahkan oleh perasaan cemburu, takut atau kesepian. Saya sudah sangat terbiasa bepergian dan jauh dari orang-orang terkasih. Sekedar Anda tahu, meskipun Jakarta - Surabaya itu relatif "dekat", tetapi saya kerap pulang ke Surabaya hanya sebulan sekali.
Saya sangat bersyukur sebab saya dikaruniai keluarga kecil yang baik. Mereka tak mempermasalahkan "ditinggal" pergi ayahnya sekaligus orang terkasihnya selama hampir 20 tahun.
Istri saya adalah seorang wanita sekaligus ibu yang baik sekali. Ia bisa merawat 2 orang anak-anak saya yang cantik dan pintar dan berhasil menjadi teladan bagi anak-anaknya kelak.
Mendidik, memasak, mencuci, menjaga rumah, merawat anak-anak, mengantarkannya mereka sekolah dan menjemput pulang serta menghadiahkan kepada saya anak-anak yang pintar tentu bukan pekerjaan mudah untuk seorang ibu tunggal - tanpa suami.Â
"Alhamdulillah, yah, Farah (anak saya) dapat juara 1, " begitu isi pesan WA yang kerap dikirimkan kepada saya setiap kali istri saya selesai mengambil raport. Sudah lima semester (berturut-turut) pesan yang sama ia kirimkan kepada saya!
Mengapa saya bisa menjalani kehidupan long distance marriage alias LDM selama hampir 20 tahun lebih (sejak 1999 - 2020)? Jawabannya adalah karena saya dan istri saya sudah berhasil membangun pondasi sangat kokoh. Kami terus merawat rasa percaya, kami tidak egois, tidak curiga, dan kami selalu berdoa.
Bangunan rumah tangga LDM yang kami bangun tersebut menghasilkan konstruksi rumah/hubungan yang tahan terhadap retak, liukan gempa, dan bencana-bencana lain.
Menjalani LDM adalah pilihan hidup saya. Dulu, sebelum saya berangkat, saya memang pernah sangat kuatir dan takut. Tetapi, kembali, menyelamatkan masa depan keluarga saya adalah penting.Â
Saya tidak mau karir saya hanya "begitu-begitu" saja. Saya tidak boleh ragu, kalah oleh ketakutan, sebab kata orang bijak "Sometimes you have to make a decision that will break your heart but will give peace to your soul".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H