Satu minggu ke belakang, publik ramai memperbincangkan berita meruginya Pertamina. Suaranya riuh mengisi ruang-ruang komentar. Sinis dan sengit. Dan, Ahok mendadak (kembali) menjadi perhatian dan sorotan. Â Â
Sebagaimana diberitakan banyak media, kinerja BUMN migas PT. Pertamina (Persero) memang sedang tidak baik pada semester I-2020. Pertamina merugi US$ 767,92 juta atau setara dengan Rp 11,13 triliun.
Bila dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya, kinerja keuangan Pertamina ini jelas berbanding terbalik dengan capaian sebelumnya (Semester 1-2019). Kala itu, kinerja perusahaan pelat merah ini masih bagus; membukukan laba sebesar US$ 659,96 juta atau setara Rp 9,56 triliun.
Mengapa Pertamina merugi? Apa yang sedang terjadi? Dan, apakah perusahaan migas lainnya berhasil membukukan laba?
Tidak.
Chevron Corp, perusahaan besar energi AS, yang juga pernah menjadi pengelola blok Rokan, juga melaporkan kerugiannya sebesar 8,27 miliar dolar AS atau Rp 121 triliun pada kuartal II-2020. Kerugian mereka disebabkan oleh penurunan harga minyak mentah dunia.
British Petroleum, perusahaan minyak asal Inggris, juga mengalami kisah dan cerita yang serupa. Dalam laporannya mereka mengatakan mengalami kerugian sebesar US$ 16,85 miliar atau Rp 247,2 triliun pada kuartal II-2020. Kerugian itu juga disebabkan oleh anjloknya harga minyak dunia.
Lantas, bagaimana dengan Exxon? Sama. Mereka juga merugi US$ 1,1 miliar.
Mengapa kinerja perusahaan-perusahaan minyak global tidak sebaik kinerja periode sebelumnya?
Krisis kesehatan karena Covid-19 benar-benar telah membuat turun permintaan minyak pada tahun ini. Hampir sebagian besar aktifitas manusia dikurangi dan/atau dihentikan. Imbasnya, pengurangan pemakaian bahan bakar fosil terjadi dimana-mana. Penurunan harga menjadi tak terkendali.
Ini diperparah dengan keputusan negara-negara penghasil minyak dunia, seperti Arab Saudi yang memutuskan menurunkan harga jual minyak mereka untuk berebut pasar dan berencana meningkatkan volume produksi setelah Rusia mengatakan menolak bergabung dalam rencana tambahan pemotongan produksi OPEC plus. Hal ini meningkatkan kekhawatiran karena bisa menyebabkan kelebihan suplai.
Ada juga penyebab lainnya, yaitu perang harga antara Arab Saudi Vs. Rusia sebagai sama-sama produsen utama minyak mentah dunia. Ini juga menyebabkan over supply minyak mentah secara global.
Nah, jadi, hukum pasar "supply and demand" sedang berlaku sekarang ini. Siapapun mereka hampir tidak akan bisa menolak kebenaran teori ini. Termasuk Ahok.
Benar, bahwa harga minyak mentah sekarang mulai pulih menjadi sekitar US$ 40 per barel. Namun, Â harga minyak mentah pernah jatuh sampai 25 persen di sepanjang tahun ini dan bahkan sempat menyentuh angka minus.
Begitulah. Covid-19, suplai, perang harga benar-benar telah menyeret perusahaan-perusahan migas raksasa terjungkal.
Laporan-laporan kerugian ini jelas menjadi berita sangat buruk bagi industri hulu migas dunia khususnya industri migas tanah air. Apalagi, sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga melaporkan realisasi investasi di sektor migas pada paruh pertama tahun ini baru mencapai 5,6 milyar dolar AS dari rencana investasi sebesar 14,5 milyar dolar AS tahun ini - atau hanya sepertiganya.
Industri minyak dan gas di Indonesia benar-benar sedang menghadapi tantangan sangat berat. Selain kinerja buruk tersebut, seperti kita ketahui, produksi minyak nasional sedang turun saat ini, cadangan minyak juga turun bahkan hingga di bawah 4 miliar barel. Ini sangat ironis sebab investor dan kontraktor migas bisa menjadi kehilangan semangat dan minat berinvestasi dan beraktifitas di sektor hulu migas.
Namun, meski industri minyak dan gas di Indonesia sedang benar-benar menghadapi tantangan sangat berat, beberapa kalangan masih menilai dan meyakini bahwa investasi dan industri hulu migas tanah air masih prospektif. Apalagi, Pemerintah juga telah memberikan keleluasaan kepada investor untuk memilih bentuk dan kontrak bagi hasil dalam kegiatan migas.
Meski Ahok telah 'membuat' Pertamina merugi, tetapi harapan itu memang harus terus dinyalakan.
-Dihimpun dari beberapa sumber dan dokumen pribadi-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H