Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sinetron Indonesia: Potret Hiburan Murah Meriah dan Ironisnya

29 Juni 2020   16:47 Diperbarui: 29 Juni 2020   18:14 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu, El - teman saya, mengisahkan keluhannya kepada saya. Tentang ibunya.

Ada apa dengan Ibunya?

Usut punya usut, ternyata, ibunya adalah penuyuka sinetron azab dan sinetron-sinetron lain yang sejenisnya. Hampir setiap hari Ibunya menontonnya..

Jika Ibunya menonton televisi -menonton sinetron azab dan yang serupa, kata El, ibunya kerap ribut dengan cucu-cucunya. Cucu-cucunya menginginkan menonton acara lainnya -yang tentu saja bukan sinetron. Tetapi, Ibunya menolak menyerahkan remote. Mereka hanya memiliki 1 buah TV.

Itu masih belum seberapa. Yang membuatnya 'kesal', jika Ibunya menonton sinetron, ibunya kerap menangis terisak-isak. Kadang-kadang marah hingga meluap-luap, lalu misuh-misuh (bahasa Indonesia: memaki). Siapa yang dimakinya? Ya, siapa lagi kalau bukan tokoh sinetron yang menyakiti tokoh baik -tokoh yang di-idolakan Ibunya.

Mengapa ibunya El dan banyak orang menyenangi sinetron azab dan/atau sinetron-sinetron lain yang serupa? Mengapa Ibu El kerap menangis terisak-isak, marah dan bahkan memaki-maki? Saya punya pendapat (pribadi) tersendiri mengapa hal ini bisa terjadi.

Sebenarnya menangis atau menahan marah saat kita menonton film (atau sinetron) yang menyedihkan atau mengharukan adalah biasa. Kita tak perlu berpura-pura memalingkan muka sekedar untuk mengusapi mata kita atau merasa malu hanya karena kita (mungkin) akan dianggap lebay, cengeng, atau lemah hati.

Hal itu karena bukan kita saja yang menangis saat melihat adegan sedih. Itu reaksi normal orang. Hampir sebagian orang yang pernah menangis saat menyaksikan adegan sedih dan mengharukan (justru) disebut sebagai orang yang kuat. Ada sisi positif yang dimiliki mereka: yaitu empati.

Begitulah, setidaknya, seperti itulah yang pernah saya baca.

"It's so fine. Tetapi, apakah suguhan tersebut mendidik?" tanya El.

"Sebenarnya, jika mau, bisa saja stasiun televisi membuat sinetron bagus dan berkualitas. Atau cukup tayangkan saja acara-acara bagus, seperti misalnya: national geographic. Saya menyukainya."

"Iya, bagus! Tetapi, tidak diminati," balas saya.

"Tolong ditulis saja menjadi artikel, mas, agar bisa sedikit mengurangi rasa kesal saya," pintanya.

Sudah menjadi rahasia umum kalau dunia persinetronan Indonesia itu dinilai kurang berkualitas oleh sebagian orang, membosankan, dan penuh drama yang tak masuk akal. Bayangkan saja, adegan-adegannya seperti mengikuti template yang serupa dan temanya selalu itu-itu saja: jatuh cinta, rebutan harta, atau konflik keluarga. Menangis sesenggukan harus menjadi menu wajib yang harus hadir di setiap episode-nya.

Bukan hal yang mengherankan jika kemudian tayangan seperti itu dianggap kurang mendidik. Ibu El adalah contohnya. Ia menjadi sedih sesedih-sedihnya meratapi tokoh kesayangannya disakiti, diusir, dibentak, atau bahkan harus mati. Ibu El juga memaki-maki..    

Satu kata, dari El dan saya pribadi, untuk sinetron Indonesia: kurang mendidik. Sama sekali tidak membuat kita lantas bisa menjalani hidup menjadi lebih baik. Tidak memotivasi dan tidak menginspirasi. Polanya selalu sama. Atau kadang-kadang kebanyakan membatin dan bermonolog sendiri.

Kita boleh saja kesal, tapi fenomena tayangan sinetron bertema cinta dan konflik keluarga dan religi harus diakui memang masih dan (mungkin akan terus) digemari masyarakat. Hal ini memang sudah dikonfirmasi oleh beberapa penelitian. Genre ini sendiri mulai berkembang pesat pada 2005 dan masih populer hingga sekarang. Maka, imbasnya, banyak stasiun televisi di Indonesia, berlomba-lomba memproduksinya. Judulnya pun dibuat bombastis, mirip "koran kuning" seperti yang disebut Diyah Hayu Rahmitasari dalam "Re-inventing Tabloid Journalism in Indonesia".

Sinetron-sinetron tersebut disukai dan terus diproduksi karena berhasil mendulang rating tinggi yang berujung pada masuknya pundi-pundi uang bagi stasiun televisi.

"Jadi, beli saja  dua televisi. Satu untuk kamu dan anakmu, satunya untuk Ibumu. Biarkan saja Ibumu menangis dan memaki-maki sekehendak hatinya," lalu klik -- aku menyudahi percakapan dengan El.

Sumber foto ilustrasi: Merdeka.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun