Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sinetron Indonesia: Potret Hiburan Murah Meriah dan Ironisnya

29 Juni 2020   16:47 Diperbarui: 29 Juni 2020   18:14 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Iya, bagus! Tetapi, tidak diminati," balas saya.

"Tolong ditulis saja menjadi artikel, mas, agar bisa sedikit mengurangi rasa kesal saya," pintanya.

Sudah menjadi rahasia umum kalau dunia persinetronan Indonesia itu dinilai kurang berkualitas oleh sebagian orang, membosankan, dan penuh drama yang tak masuk akal. Bayangkan saja, adegan-adegannya seperti mengikuti template yang serupa dan temanya selalu itu-itu saja: jatuh cinta, rebutan harta, atau konflik keluarga. Menangis sesenggukan harus menjadi menu wajib yang harus hadir di setiap episode-nya.

Bukan hal yang mengherankan jika kemudian tayangan seperti itu dianggap kurang mendidik. Ibu El adalah contohnya. Ia menjadi sedih sesedih-sedihnya meratapi tokoh kesayangannya disakiti, diusir, dibentak, atau bahkan harus mati. Ibu El juga memaki-maki..    

Satu kata, dari El dan saya pribadi, untuk sinetron Indonesia: kurang mendidik. Sama sekali tidak membuat kita lantas bisa menjalani hidup menjadi lebih baik. Tidak memotivasi dan tidak menginspirasi. Polanya selalu sama. Atau kadang-kadang kebanyakan membatin dan bermonolog sendiri.

Kita boleh saja kesal, tapi fenomena tayangan sinetron bertema cinta dan konflik keluarga dan religi harus diakui memang masih dan (mungkin akan terus) digemari masyarakat. Hal ini memang sudah dikonfirmasi oleh beberapa penelitian. Genre ini sendiri mulai berkembang pesat pada 2005 dan masih populer hingga sekarang. Maka, imbasnya, banyak stasiun televisi di Indonesia, berlomba-lomba memproduksinya. Judulnya pun dibuat bombastis, mirip "koran kuning" seperti yang disebut Diyah Hayu Rahmitasari dalam "Re-inventing Tabloid Journalism in Indonesia".

Sinetron-sinetron tersebut disukai dan terus diproduksi karena berhasil mendulang rating tinggi yang berujung pada masuknya pundi-pundi uang bagi stasiun televisi.

"Jadi, beli saja  dua televisi. Satu untuk kamu dan anakmu, satunya untuk Ibumu. Biarkan saja Ibumu menangis dan memaki-maki sekehendak hatinya," lalu klik -- aku menyudahi percakapan dengan El.

Sumber foto ilustrasi: Merdeka.com

sinetron-5ef9b6edd541df5dbc197b62.jpg
sinetron-5ef9b6edd541df5dbc197b62.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun