Beberapa hari lalu, El - teman saya, mengisahkan keluhannya kepada saya. Tentang ibunya.
Ada apa dengan Ibunya?
Usut punya usut, ternyata, ibunya adalah penuyuka sinetron azab dan sinetron-sinetron lain yang sejenisnya. Hampir setiap hari Ibunya menontonnya..
Jika Ibunya menonton televisi -menonton sinetron azab dan yang serupa, kata El, ibunya kerap ribut dengan cucu-cucunya. Cucu-cucunya menginginkan menonton acara lainnya -yang tentu saja bukan sinetron. Tetapi, Ibunya menolak menyerahkan remote. Mereka hanya memiliki 1 buah TV.
Itu masih belum seberapa. Yang membuatnya 'kesal', jika Ibunya menonton sinetron, ibunya kerap menangis terisak-isak. Kadang-kadang marah hingga meluap-luap, lalu misuh-misuh (bahasa Indonesia: memaki). Siapa yang dimakinya? Ya, siapa lagi kalau bukan tokoh sinetron yang menyakiti tokoh baik -tokoh yang di-idolakan Ibunya.
Mengapa ibunya El dan banyak orang menyenangi sinetron azab dan/atau sinetron-sinetron lain yang serupa? Mengapa Ibu El kerap menangis terisak-isak, marah dan bahkan memaki-maki? Saya punya pendapat (pribadi) tersendiri mengapa hal ini bisa terjadi.
Sebenarnya menangis atau menahan marah saat kita menonton film (atau sinetron) yang menyedihkan atau mengharukan adalah biasa. Kita tak perlu berpura-pura memalingkan muka sekedar untuk mengusapi mata kita atau merasa malu hanya karena kita (mungkin) akan dianggap lebay, cengeng, atau lemah hati.
Hal itu karena bukan kita saja yang menangis saat melihat adegan sedih. Itu reaksi normal orang. Hampir sebagian orang yang pernah menangis saat menyaksikan adegan sedih dan mengharukan (justru) disebut sebagai orang yang kuat. Ada sisi positif yang dimiliki mereka: yaitu empati.
Begitulah, setidaknya, seperti itulah yang pernah saya baca.
"It's so fine. Tetapi, apakah suguhan tersebut mendidik?" tanya El.
"Sebenarnya, jika mau, bisa saja stasiun televisi membuat sinetron bagus dan berkualitas. Atau cukup tayangkan saja acara-acara bagus, seperti misalnya: national geographic. Saya menyukainya."