Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bolton atau Trump: Siapa yang Paling Benar?

29 Juni 2020   11:50 Diperbarui: 29 Juni 2020   11:46 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: www.dw.com

"The Room Where It Happened" sedang diperbicangkan. Dan, karena setidaknya ada 5 tulisan bagus yang mengulas secara eksklusif isi buku tersebut yang saya baca kemarin itu saya kira sudah cukup bisa mewakili rasa penasaran orang-orang.   

Trump geram. Karena buku itu menyerang karakternya.

Trump pun membuat beberapa pernyataan 'salah' yang menunjukkan betapa geramnya ia menanggapi rencana terbitnya "The Room Where It Happened" yang (konon) akan dirilis akhir bulan Juni ini. "Jika dia menulis buku, dan buku itu keluar, dia melanggar hukum," kata Trump.

"Aku akan berpikir dia akan memiliki masalah kriminal. Kuharap begitu."

Penulis buku itu adalah John Robert Bolton. Ia adalah seorang pengacara, diplomat, konsultan Republik, Duta Besar Amerika Serikat ke-25 untuk PBB (tahun 2005 hingga 2006) dan pernah menjadi penasihat keamanan nasional Donald Trump dari April 2018 hingga September 2019.

Bolton dikabarkan memang pernah 'kecewa' kepada Trump. Dengan ceritanya sendiri, Bolton mendesak Trump untuk menghindar langkah-langkah diplomasi dan mencari posisi di garis keras terhadap negara-negara yang bermusuhan: seperti Korea Utara, Iran, dan Venezuela. Bolton mengatakan Trump "tidak rasional" untuk tidak melakukan serangan terhadap Iran.

Semula Trump pun sudah menyetujui untuk menyerang Iran. Persiapan penyerangan pun sudah dilakukan. Tetapi, di detik-detik akhir Trump membatalkannya.

Bolton juga kecewa karena Trump tidak jadi menyerang Korea Utara. Trump, kata Bolton, Anda tahu, malah berjabat tangan dengan Kim Jong-un, dan melangkah masuk ke wilayah Korut. Bahkan hingga tiga kali pertemuan.

Intinya; Bolton tidak menyukai Trump karena Trump tidak jadi menyerang Iran dan Korea Utara.

Buku "The Room Where It Happened" memantik beragam reaksi dan komentar. Jika sebelumnya ada beberapa pihak yang merasa tidak menyukai Trump, itu kukira sudah biasa. Tetapi, selain ada yang tidak menyenangi Trump, ternyata tidak sedikit juga yang tidak menyenangi Bolton.

"Jika Trump menerima nasihat Bolton lebih sering, maka, Amerika akan terlibat dalam berbagai konflik di seluruh dunia. Tidak jelas bagi saya bahwa sesuatu yang setara dengan dua Perang Irak akan lebih baik bagi negara ini," Joshua Shifrinson, pakar kebijakan luar negeri AS di Universitas Boston mengatakan - mengomentarai buku "The Room Where It Happened" itu.

Dari membaca banyak artikel yang mengulas secara eksklusif isi buku tersebut kemarin, dan setelah mendengarkan komentar Joshua Shifrinson itu, saya justru mendapati hal menarik dan sekaligus menjadi pertanyaan: apakah dengan demikian saya boleh menyimpulkan bahwa Jika Bolton masih dipekerjakan Trump sebagai penasihat keamanan nasional dan Trump menerima nasihat Bolton, maka, apakah tidak mungkin hari ini kita sedang menyaksikan perang antara Amerika -- China?

Dan, apakah hari ini kita tidak sedang nestapa, sebab seperti yang dikabarkan beberapa kanal informasi, bukankah Asean (dan tentu saja termasuk Indonesia), akan menjadi medan peperangan kedua negara raksasa itu?

Sebagaimana diketahui, wilayah Laut China selatan kini memang sedang menegang, setelah USS Theodore Roosevelt dan tim penyerang kapal induk USS Nimitz memulai operasi penerbangan dua kapal induk di Laut Filipina.

Ketegangan Washington - Beijing memang dikabarkan terus meningkat. Japan Times melaporkan, untuk pertama kalinya sejak 2017, Angkatan Laut AS telah menempatkan tiga kapal induknya di pintu masuk Laut China Selatan.

Apakah Amerika benar-benar akan menyerang China seperti halnya Suriah? Atau membatalkan seperti halnya Iran dan Korea Utara?

Atau, jangan-jangan, itu hanya modus- untuk satu tujuan: agar nama Trump bisa ditulis besar-besar di media Internasional, seperti yang dituliskan Bolton?

Dan, pada akhirnya, setelah mengingati sepotong kisah yang menceritakan tangis rakyat Irak yang meluap-luap karena setiap hari mereka mendengarkan suara desingan peluru dan gelegar bom mengoyakkan sebagian besar tempat di Irak, maka, setidaknya sampai di sini, saya barangkali harus mengucapkan terima kasih kepada Trump karena ia telah memecat Bolton, sehingga perang Iran dan Korea menjadi batal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun