Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mereka Tersandera Karut-marut SIKM

9 Juni 2020   16:14 Diperbarui: 9 Juni 2020   16:20 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kenapa, kemarin, saya tiba-tiba merasa tertarik membaca-baca koran 'setengah lawas' yang bertumpuk begitu saja selama beberapa hari di meja kerja saya. Koran cetak itu bertanggal 2 Juni 2020. 

Saya mengatakan 'setengah lawas' sebab, oleh Office Boy, koran yang tak saya baca lebih dari 2 (dua) hari biasanya akan langsung mereka simpan di gudang kantor. Saya tertarik membaca salah satu artikel yang dimuat harian Kompas yang berjudul "Tersandera Karut-marut SIKM", yang dipublikasikan pada Selasa (2/6/20).

Kenapa saya tiba-tiba tertarik membacanya?

Mendengarkan cerita dan pengalaman Frans dan Baskoro yang ditolak berkali-kali saat mengurus Surat Izin Keluar-Masuk (SIKM) Jakarta, yang pernah menjadi rerasan/pergunjingan di kantor tempat saya bekerja, itulah yang menjadi sebab saya tertarik dengan judul artikel tersebut. Apa yang dialami Frans dan Baskoro kok ya sangat klop dengan artikel yang dimuat Kompas tersebut..

"Ditolak berkali-kali, Pak. Pasti banyak sekali orang-orang yang senasib dengan saya," kata Frans sewot. "Belum tahu nih, pak, bagaimana saya bisa berangkat (ke Gresik, Jawa Timur). Padahal, tiga hari lagi ada pekerjaan testing pancang."

Mendapati kenyataan itu, ditambah lagi dengan tuntutan pekerjaan yang tidak boleh diberhentikan, staf HR kantor tempat saya bekerja akhirnya berinisiatif menghubungi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta. Tetapi, sialnya, teleponnya tidak pernah tersambung.

Mengapa Surat Izin Keluar-Masuk (SIKM) yang diajukan Frans dan Baskoro itu tidak lekas kelar? Padahal itu sangat dibutuhkan karena Proyek yang sedang kami kerjakan itu harus terus beroperasi? Bukankah mereka adalah karyawan-karyawan yang bekerja di salah satu sektor yang dikecualikan menurut aturan: energi dan konstruksi? 

"Tidak tahu, pak. Pokoknya ditolak. Salahnya apa dan dimana, saya juga tidak tahu," terang Frans.

Kepada saya, Bram, teman saya yang lainnya yang masih sekantor, juga membagikan pengalaman kesalnya mengurus Surat Izin Keluar-Masuk (SIKM) Jakarta, kemarin. Ia mengaku ditolak berkali-kali saat mengurus izin surat tersebut secara online. Bram berniat akan pulang ke Padang karena istrinya sebentar lagi akan melahirkan. "Minggu depan (kelahiran anak pertama), pak" katanya.

"Barangkali jika pengalamannya dibagikan di media sosial dan didengarkan banyak orang, bisa sedikit membantu, mas?" tanya saya.

"Sudah, pak," kata Bram. "Sudah saya bagi-bagikan di akun Twitter saya dan men-tag akun resminya Anies Baswedan. Tetapi, yaaa.. tetap tidak berhasil."

Dalam artikel yang diberi judul "Tersandera Karut-marut SIKM" yang dimuat di koran Kompas tersebut, disebutkan carut marutnya implementasi SIKM itu, ditengarai antara lain karena pola komunikasi Pemerintah (Pemerintah Daerah) tentang SIKM tersebut memicu beragam tafsir di lapangan sehingga menyebabkan penerapan surat iijn keluar masuk tersebut menjadi simpang siur. Hal ini juga diperparah dengan mental warga yang mencari celah agar bisa bepergian.

Multitafsir ini pula yang, disebutkan oleh artikel tersebut, digunakan sebagai celah untuk melakukan permohonan pembuatan SIKM secara online ke dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu Jakarta. Akibatnya, pemintaan membludak dan orang-orang secara definisi aturan harus diprioritaskan menadapat SIKM justru kurang atau tidak terlayani.

Aturan yang ditetapkan Pemerintah Pusat tersebut, seperti kita tahu, mengatakan bahwa orang-orang yang bekerja di 11 (sebelas) sektor tetap diperbolehkan beroperasi atau bekerja, yakni kesehatan, bahan pangan, energi, komunikasi dan teknologi informasi, keuangan, logistik, perhotelan, konstruksi, industri strategis, pelayanan dasar, utilitas publik, dan industri yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional dan obyek tertentu, serta kebutuhan sehari-hari. 

Jadi, dengan demikian, berdasarkan aturan tersebut, Frans dan Baskoro, yang bekerja di sektor energi dan konstruksi dan industri yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional, mestinya mendapatkan prioritas mendapatkan ijin. Namun, kenyataannya, yang terjadi, ternyata tidaklah demikian.

Barangkali, tidaklah salah jika saya menyebutkan, seperti yang banyak dituliskan orang, bahwa teori dan konsep boleh bagus. Narasi juga boleh luar biasa. Tetapi, yang kerap menjadi pokok permasalahan, adalah pelaksanaan di lapangan.  

Implementasi dan pelaksanaan sistem di lapangan seringkali tidak sesempurna seperti yang dipidatokan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun