Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Ini Semua demi Mimpi Mereka!"

5 Juni 2020   12:43 Diperbarui: 5 Juni 2020   12:44 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: www.pexels.com

"Barangkali sebaiknya kamu pulang saja Nur,  lupakan keinginanmu sekolah di Jakarta ... "

"Kamu sekolah di kampung saja, menemani ibumu, biayanya pasti murah."

Hening sesaat.

"Kamu tidak usah sekolah di Jakarta, ya?" pinta ayahnya.

"Saya mau melanjutkan sekolah di Jakarta, pak! Masa saya sekolah di kampung terus? Bosan!" Sikap Nur sudah bulat, dia mending tidak kuliah ketimbang kuliah di sekolah yang dia tidak senanginya.

Keteguhan hati Nur untuk kuliah di universitas 'elit' di Jakarta itu akhirnya membuat ayah dan ibunya kembali terjebak dalam kebimbangan dan membuat keputusan di luar keinginannya. Pak Yatno terpaksa melepas Nur pergi dengan berat dan mulut tertutup rapat.

Dengan bekal uang hasil menggadaikan sepetak tanah, Nur pergi, dan telah menambahi tumpukan hutang demi sekolah anak perempuannya itu.

Utang yang sebelumnya belum lunas kini  terus bertambah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan hidup Nur di Jakarta, hingga akhirnya membuat pak Yatno tak lagi berani menolak saat ibunya meminta izin menyusul ke Jakarta menjadi tukang cuci pakaian, mengikuti jejak adik-adiknya yang sudah lebih dulu tinggal dan bekerja di Jakarta.

Kini, setelah istrinya pak Yatno menyusul ke Jakarta, rumah yang tertinggal di kampung bagai tempat asing, sebab hanya ditinggali adik Nur yang laki-laki dan buleknya. Adiknya itu kerap bercerita merasa asing di rumah sendiri sendiri..

Usai pak Yatno, ayah Nur, yang menjadi  sopir di Jakarta itu membagikan kisah anaknya itu kepada saya, beberapa saat saya terdiam bungkam. Pada saat itu, saya mendadak ingat hidupku sendiri, berpuluh tahun di belakang, di sebuah masa, saat saya masih berseragam sekolah. Saya masih mengingat saat pahit itu. Ibu dan Ayah kulihat kerap memanggul koran bekas untuk dijual semata-mata untuk bisa membayar SPP sekolah saya. Yang sudah menunggak beberapa bulan.

***

Hidup itu bukanlah seperti garis linier. Ya. Setidaknya, bagi saya, demikianlah saya melihat hidup dan memandangi 'ketidakadilan', dan paradoksnya. Ada pak Yatno, ayahnya Nur, yang terseok-seok mencari rejeki sebagai sopir di Jakarta, tetapi tak cukup memiliki keberanian menolak keinginan teguh anaknya kuliah di univeristas 'elit' di Jakarta. Lalu ada Frans dan Imelda, teman-teman saya, yang 'tampak' santai-santai saja meski harus merogoh uang hingga ratusan juta dari sakunya untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah sangat elit.

"Total uang sekolah kedua anak saya mencapai empat ratus juta, mas," kata Frans sembari menyodorkan hape menunjukkan foto sekolah anaknya. Yang di luar negeri. Yang keren itu.

Atau, ada juga kisah lainnya, kisah mas Bram. Bram, setidaknya demikianlah saya melihatnya, menjalani hidup dengan cara sangat 'kuno'. Anakronistis mungkin, sebab Bram seperti tak terbiasa atau mungkin tak mau hidup susah, sebab anak-anaknya tak mau berkompromi menurunkan gaya hidup padahal mereka tengah kuliah di universitas mahal, membuat Bram akhirnya terus menumpuk hutang.

Sekolah elit, tampak makin dibutuhkan oleh para orang-tua, seperti layaknya kebutuhan pokok, yang membuat ayah Nur terpaksa harus menggadaikan tanah, harta satu-satunya paling berharga di kampungnya dan membuat Bram terus saja berhutang.

BBC mungkin sangat benar. Menurut mereka, kini, para orang-tua Asia memang tengah menderita 'demam pendidikan'. Ada bukti tingkat pengeluaran pendidikan yang tinggi di Cina, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, India dan Indonesia (bbc.com/news/business-24537487, 22 October 2013).

Saya (kadang-kadang) seperti orang yang tak bisa berkata-kata, kehabisan argumen dan lantas dipaksa menyerah kalah dalam beberapa debat membahas 'demam pendidikan' itu. Kalimat atau dalil paling sulit dari sekian banyak kalimat dari banyak para orangtua yang berambisi agar anak-anak mereka menjadi generasi super adalah visi mereka yang sekilas tampak mulia dan sangat benar: "Ini semua demi mimpi mereka!", atau "Untuk apa kita bekerja kalau bukan untuk mereka!".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun