Hidup itu bukanlah seperti garis linier. Ya. Setidaknya, bagi saya, demikianlah saya melihat hidup dan memandangi 'ketidakadilan', dan paradoksnya. Ada pak Yatno, ayahnya Nur, yang terseok-seok mencari rejeki sebagai sopir di Jakarta, tetapi tak cukup memiliki keberanian menolak keinginan teguh anaknya kuliah di univeristas 'elit' di Jakarta. Lalu ada Frans dan Imelda, teman-teman saya, yang 'tampak' santai-santai saja meski harus merogoh uang hingga ratusan juta dari sakunya untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah sangat elit.
"Total uang sekolah kedua anak saya mencapai empat ratus juta, mas," kata Frans sembari menyodorkan hape menunjukkan foto sekolah anaknya. Yang di luar negeri. Yang keren itu.
Atau, ada juga kisah lainnya, kisah mas Bram. Bram, setidaknya demikianlah saya melihatnya, menjalani hidup dengan cara sangat 'kuno'. Anakronistis mungkin, sebab Bram seperti tak terbiasa atau mungkin tak mau hidup susah, sebab anak-anaknya tak mau berkompromi menurunkan gaya hidup padahal mereka tengah kuliah di universitas mahal, membuat Bram akhirnya terus menumpuk hutang.
Sekolah elit, tampak makin dibutuhkan oleh para orang-tua, seperti layaknya kebutuhan pokok, yang membuat ayah Nur terpaksa harus menggadaikan tanah, harta satu-satunya paling berharga di kampungnya dan membuat Bram terus saja berhutang.
BBC mungkin sangat benar. Menurut mereka, kini, para orang-tua Asia memang tengah menderita 'demam pendidikan'. Ada bukti tingkat pengeluaran pendidikan yang tinggi di Cina, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, India dan Indonesia (bbc.com/news/business-24537487, 22 October 2013).
Saya (kadang-kadang) seperti orang yang tak bisa berkata-kata, kehabisan argumen dan lantas dipaksa menyerah kalah dalam beberapa debat membahas 'demam pendidikan' itu. Kalimat atau dalil paling sulit dari sekian banyak kalimat dari banyak para orangtua yang berambisi agar anak-anak mereka menjadi generasi super adalah visi mereka yang sekilas tampak mulia dan sangat benar: "Ini semua demi mimpi mereka!", atau "Untuk apa kita bekerja kalau bukan untuk mereka!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H