Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musibah Sungai Sempor, Budaya Manajemen Risiko, dan Slogan "Do It Safely or Not At All"

29 Februari 2020   16:33 Diperbarui: 29 Februari 2020   19:49 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peristiwa hanyutnya 249 peserta susur sungai yang diikuti oleh siswa SMPN 1 Turi, Sleman, pada Jumat sore, 21 Pebruari 2020 meninggalkan kita duka.

Sebanyak 10 peserta susur sungai ditemukan meninggal dan sisanya dinyatakan selamat meski ada yang mengalami luka-luka.  

Kabarnya, dari informasi yang ditulis banyak media, sejumlah pihak termasuk warga sekitar kali Sempor (sebenarnya) sudah memberikan saran agar pihak panitia bisa mengurungkan kegiatan susur sungai. Mengadakan kegiatan susur sungai pada musim penghujan memang dapat dikategorikan sebagai kegiatan rawan kecelakaan.

Tetapi, terlambat. Saran itu diabaikan.

Musibah kali Sempor yang merenggut banyak nyawa itu, mestinya, bisa menjadi bahan telaah, kajian dan pelajaran banyak pihak untuk segera menentukan tindakan-tindakan yang relevan yang wajib diambil atau diterapkan jika ada pihak sekolah berniat melakukan kegiatan yang sejenis di waktu yang akan datang.

Tetapi, sayangnya, seperti yang saya perhatikan dan baca, perdebatan 'tidak penting' dengan tema 'penggundulan' justru tampak mendominasi dan mengisi ruang-ruang pemberitaan dibandingkan diskusi ilmiah untuk mendapatkan perbaikan.

Yang satu mengatakan penggundulan itu tidak manusiawi. Yang satunya (tentu saja) mengatakan sebaliknya.

Seperti yang banyak terjadi pada peristiwa yang lainnya, pihak yang satu terus 'menyerang' pihak lain di media sosial. Ruang-ruang komentar pun dipenuhi oleh komentar-komentar emosional dibandingkan ilmu pengetahuan.

Sekali lagi, dalam logika normal saya, perdebatan 'tidak penting' itu menjadi semacam reklame buruk pengetahuan dan kian menjauhkan kita dari nalar karena perdebatan tersebut sama sekali tidak menyentuh dan menggali persoalan dan tidak menghasilkan apa-apa. Akibat yang jelas ada adalah; perdebatan kerap mendatangkan kegaduhan.

Menurut saya, ada sebenarnya beberapa hal yang sangat menarik untuk dipercakapkan, misalnya; bagaimana agar pihak-pihak yang berkepentingan bisa lebih mendorong atau sekalian mewajibkan digunakannya kajian atau penerapan sistim untuk menjalankan proses manajemen risiko.

Sistem manajemen risiko ini memang umum dan lazim digunakan dan diterapkan dalam operasi perusahaan-perusahaan (besar) yang mengadopsi sistim keselamatan atau health and safety (OH&S) management system.

Tetapi, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam ISO, penerapan sistim atau metoda untuk menjalankan proses manajemen risiko, mestinya, bukan hanya menjadi milik perusahaan, melainkan juga dapat dipakai oleh semua organisasi, termasuk sekolah yang akan melakukan kegiatan yang teridentifikasi sebagai kegiatan rawan insiden (kecelakaan).

Manajemen risiko adalah sistem yang diterapkan untuk menjalankan proses manajemen risiko yang mencakup identifikasi risiko, analisa dan dampak risiko dan manajemen tindakan pengendalian risiko, cara-cara mengkomunikasikan dan mengkonsultasikannya.

Kembali ke soal sekolah, manajemen risiko seperti yang dimaksud dapat dilakukan dengan membentuk forum atau rapat antara guru, pimpinan dan (mengundang serta) pihak-pihak yang kompeten untuk mendiskusikan bahaya dan potensi bahaya, bagaimana akibat dan peluang terjadinya insiden dan memberi masing-masing dengan nilai/skor kemudian mengalikannya. Hasil perkalian adalah representasi tingkat risiko kegiatan.

Jika tingkat risiko kegiatan (misalnya) didapatkan angka 11, maka kegiatan tersebut dapat dikatakan sangat tidak aman dilakukan. Pihak sekolah harus segera mendefinisikan atau merumuskan tindakan untuk menurunkan tingkat risiko tersebut. Keterlibatan pimpinan diperlukan untuk pengendalian tersebut.

Dalam kasus kali Sempor, sebagai contoh kasus, tindakan-tindakan tersebut dapat berupa; membekali setiap peserta dengan life jacket atau life vest, meningkatkan jumlah pengawas dan menempatkan mereka di setiap titik dengan jarak 30 meter, menetapkan rencana tindakan darurat, dan sebagainya.

Dengan mendefinisikan tindakan-tindakan tersebut di atas, maka tingkat risiko kegiatan yang (awalnya) bernilai 11 diharapkan akan berkurang menjadi (setidaknya) 5 atau kurang agar kegiatan dapat dikategorikan aman dilakukan.       

Mas Pramudya, teman saya yang menempati posisi sebagai HSE leader perusahaan internasional yang mengoperasikan ladang-ladang minyak, pernah menyampaikan narasi menarik kepada peserta pelatihan. Mas Pram menjelaskan bahwa manajemen risiko diciptakan bukan dimaksudkan untuk menghilangkan potensi kecelakaan, tetapi untuk mencegahnya.

"All accidents and injuries are preventable," katanya.  

Bahkan, lanjut mas Pram, jika analisa dampak menghasilkan tingkat risiko yang tetap tidak dapat ditoleransi, meski beberapa tindakan pengendalian lain sudah ditambahkan, maka opsi paling kerap dipilih adalah: menunda mengerjakan.

"There is always time to do it right atau do it safely or not at all," kata mas Pram menirukan slogan-slogan OH&S perusahaan tempatnya bekerja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun