AWALNYA, saya seperti enggan mengulangi menulis dan mengulas proyek pelebaran trotoar di Jakarta yang menuai pro dan kontra itu karena saya berpendapat seberapa banyak kekesalan saya tuliskan (rasanya) tidak bakalan bisa membuat trotoar Jakarta menjadi seperti yang saya "ingini".
Tetapi, karena saya pikir sudah tidak ada lagi cara lain saya meluapkan rasa kesal, saya pun akhirnya memutuskan menuliskannya kembali. Ya, ini adalah tulisan saya yang kedua di Kompasiana tentang proyek pelebaran trotoar di Jakarta.
Sebentar, sebelum melanjutkan menulis, jika saya ditanya; apakah saya setuju dengan proyek revitalisasi trotoar di Jakarta? Ya, saya jawab dengan tegas: SETUJU. Proyek revitalisasi akan membuat wajah kota menjadi kian cantik dan lebih bermartabat. Manusia mana yang tidak menyukainya? Â
Tetapi, mengapa saya harus menulis ini? Mengapa saya kesal?
Adalah benar bahwa gagasan dan ide Anies untuk memperlebar trotoar mungkin kelihatan "bagus" dan sangat ideal. Gambar desain trotoar dan pohon-pohonnya yang sedang berbunga yang dipresentasikan dengan software 3D plus animasi bisa tampak sangat indah dipamerkan.Â
Tukang-tukang gambar (drafter) Â yang bekerja di kantor-kantor konsultan perencana mungkin sangat menikmati pekerjaannya di depan mesin komputer mereka. Mereka merubah lay-out jalan dengan cara menarik-narik garis lurus dan lengkung menggunakan software AutoCAD sambil menyeruputi secangkir kopi favorit dan sepotong roti bertabur kacang almond.
Tetapi, benarkah demikian juga halnya yang terjadi di lapangan (baca: jalanan)?
"Semrawut dan ruwet," kata teman saya.
Ya benar, di lapangan, setidaknya seperti itulah keadaannya. Di jalan Prof. DR. Satrio pagi hari ini dan pagi-pagi sebelumnya, gara-gara proyek trotoar dan box utilitas yang di design/diletakkan di ruang jalan, lalu lintas menjadi macet dan semrawut. Bukan sekadar macet dan semrawut, tanah bekas galian yang dimasukkan karung tampak ditumpuk di sana-sini tidak segera dibersihkan. Lobang-lobang kecil dan besar juga yang tampak menganga "dibiarkan". Sangat menganggu estetika dan pemandangan. Â Â
Coba perhatikan foto di atas itu pak Anies!
Selain tampak semrawut dan merusak pemandangan, lalu lintasnya juga tampak sangat tidak adil. Pada trotoar yang lebarnya melebihi lebar ruang jalan itu tampak nyaris tidak dilalui siapapun. Sangat berbeda sekali dengan ruang jalan di sebelahnya yang penuh sesak dengan kendaraan. Sepeda motor, kendaraan kecil dan besar, dan bis saling berhimpit-himpitan di ruang sempit dan berkejar-kejaran dengan waktu karena ingin cepat sampai tujuan.
Kadang-kadang, mungkin karena sangat kuatir terlambat masuk kantor atau terlambat menghadiri rapat, sopir-sopir mobil pribadi berlomba membunyikan klakson karena kesal. Orang-orang yang saya temui pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sayang sekali, di jalanan, suara klakson dan ribuan keluhan hampir bisa dipastikan tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik.
Di tulisan saya sebelumnya, saya pernah menuliskan tentang rasio kepadatan/beban jalan. Bahwa trotoar dari ITC kuningan sampai Lotte Shopping Avenue (saya menggunakan trotoar ini hampir setiap hari) hanya dilalui (mungkin) tak sampai 10 orang saja dalam setiap menit. Tetapi, mengapa, ruas trotoar di jalan itu harus dibuat sangat lebar sekali? Lantas, apa urgensi, dasar dan gagasan yang mudah dipahami rakyat sehingga trotoar di sana harus dibuat selebar itu?
"Padahal trotoar yang lama sudah cukup lebar mas. Pejalan kaki juga hanya beberapa orang," kata beberapa orang yang saya temui dan saya mintai tanggapannya tentang proyek pelebaran trotoar di jalan Prof. DR. Satrio.
"Seharusnya cukup diganti keramiknya saja," kata mereka.
"Ya, itu terlalu lebar. Box utilitasnya semestinya tidak dibangun di ruang jalan," kata yang lain menimpali.
"Seharusnya tidak selebar itu," kata pejalan kaki yang lainnya lagi.
Semua dari orang-orang yang saya mintai pendapat menyayangkan pelebaran ruas trotoar di jalan Prof. DR. Satrio yang mengurangi/menghilangkan hingga satu lajur ruang jalan raya itu. Di beberapa titik, seperti bisa kita lihat di lapangan, bahkan, trotoarnya dibuat sangat lebar sekali -- lebih lebar dibandingkan jalan rayanya!
Mungkin (bisa jadi) benar bahwa orang-orang di jalanan yang saya mintai pendapat itu bukanlah sarjana atau ahli tata kota lulusan dari universitas sangat elit, atau filsuf, atau para pakar yang mempunyai kapasitas mumpuni untuk berbicara perihal tata kota. Tetapi, saya kok melihat bahwa apa yang mereka sampaikan adalah benar adanya.
Membangun itu semestinya tidak semata hanya berfokus kepada estetika atau berdasarkan gagasan semata, tetapi juga memerhatikan asas kebermanfaatan, load/rasio beban trotoar dan jalan raya dan (juga) mendengarkan kekesalan rakyat.
Pemkot Surabaya juga getol merevitalisasi trotoar, tetapi tidak sampai seriuh Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H