Kadang-kadang, mungkin karena sangat kuatir terlambat masuk kantor atau terlambat menghadiri rapat, sopir-sopir mobil pribadi berlomba membunyikan klakson karena kesal. Orang-orang yang saya temui pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sayang sekali, di jalanan, suara klakson dan ribuan keluhan hampir bisa dipastikan tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik.
Di tulisan saya sebelumnya, saya pernah menuliskan tentang rasio kepadatan/beban jalan. Bahwa trotoar dari ITC kuningan sampai Lotte Shopping Avenue (saya menggunakan trotoar ini hampir setiap hari) hanya dilalui (mungkin) tak sampai 10 orang saja dalam setiap menit. Tetapi, mengapa, ruas trotoar di jalan itu harus dibuat sangat lebar sekali? Lantas, apa urgensi, dasar dan gagasan yang mudah dipahami rakyat sehingga trotoar di sana harus dibuat selebar itu?
"Padahal trotoar yang lama sudah cukup lebar mas. Pejalan kaki juga hanya beberapa orang," kata beberapa orang yang saya temui dan saya mintai tanggapannya tentang proyek pelebaran trotoar di jalan Prof. DR. Satrio.
"Seharusnya cukup diganti keramiknya saja," kata mereka.
"Ya, itu terlalu lebar. Box utilitasnya semestinya tidak dibangun di ruang jalan," kata yang lain menimpali.
"Seharusnya tidak selebar itu," kata pejalan kaki yang lainnya lagi.
Semua dari orang-orang yang saya mintai pendapat menyayangkan pelebaran ruas trotoar di jalan Prof. DR. Satrio yang mengurangi/menghilangkan hingga satu lajur ruang jalan raya itu. Di beberapa titik, seperti bisa kita lihat di lapangan, bahkan, trotoarnya dibuat sangat lebar sekali -- lebih lebar dibandingkan jalan rayanya!
Mungkin (bisa jadi) benar bahwa orang-orang di jalanan yang saya mintai pendapat itu bukanlah sarjana atau ahli tata kota lulusan dari universitas sangat elit, atau filsuf, atau para pakar yang mempunyai kapasitas mumpuni untuk berbicara perihal tata kota. Tetapi, saya kok melihat bahwa apa yang mereka sampaikan adalah benar adanya.
Membangun itu semestinya tidak semata hanya berfokus kepada estetika atau berdasarkan gagasan semata, tetapi juga memerhatikan asas kebermanfaatan, load/rasio beban trotoar dan jalan raya dan (juga) mendengarkan kekesalan rakyat.
Pemkot Surabaya juga getol merevitalisasi trotoar, tetapi tidak sampai seriuh Jakarta.