Mas Bas benar! Menemaninya berburu foto-foto alam benar-benar bisa membuatku keluar dari rutinitas sehari-hari yang kusut, yang tak terasa sudah kulakukan hampir delapan tahun hidup di Jakarta. Ritme hidup saya, selama di Jakarta, selalu tidak jauh-jauh dari ini: bangun subuh hari usai Azan, sholat, lalu mengecek HP. Memeriksa timeline, hastag, FB, menaikkan hastag, memberikan komen, me-like, me-retweet ... dan tahu-tahu sudah jam 6.30 pagi. Lantas terhenyak, ternyata, saya belum melakukan apa-apa setelah satu setengah jam!
Setiap pulang kerja, menjelang atau setelah jam 10 malam, pada saat tubuh sudah sangat penat, saya juga tidak bisa lekas tidur. Sebelum saya benar-benar bisa memeluk mimpi, saya (ternyata) kembali menyerah diseret masuk ke dalam jebakan seperti tadi pagi dan tadi siang. Memeriksa timeline, hastag, nge-tweet, membuka FB, memberi komen di laman akun-akun orang-orang terkenal atau tokoh yang saya follow, menikmati status orang lain dan ikut nimbrung dalam keriuhan orang-orang yang saling menghujat .....
Dalam gelembung-gelembung obrolan itu, meski tidak hampir selalu, saya kadang-kadang harus bertukar argumen dan keyakinan yang sering kali diperdebatkan, diamini atau disombongkan. Mereka sudah tampak seperti manusia yang tidak sewajarnya (jangan-jangan saya juga demikian): Benarkah mereka-mereka yang saling menghujat itu merasa diri mereka lebih baik karena pihak lain terlihat lebih buruk? Atau barangkali mereka senang melihat ketidakbaikan orang lain?
"Kamu tidak akan pernah kehabisan alasan untuk saling membenci," kata teman saya.
Kadang-kadang, pada suatu titik yang tertentu, aku menyadari bahwa keseluruhan hidup orang itu ternyata tidak lebih dari aktifitas ini: datang dan pergi. Memasuki lalu pergi meninggalkan kerumunan demi kerumunan. Mereka datang menuliskan komentar yang lantas diperdebatkan (sangat riuh), menghilang lalu datang sejam lagi. Yang di-representasikan dalam gelembung-gelembung percakapan.
Jika kantuk sudah tidak bisa saya tahan, saya lantas tidur menjemput mimpi. Biasanya itu terjadi pada jam 1 atau 2 dinihari. Begitu seterusnya..
Setiap hari, di lift, di kedai, di ruang rapat dan di mana-mana, saya kerap memperhatikan orang-orang yang selalu sibuk dengan hape mereka. Baru berbicara sejenak, jari jemari kembali dialihkan ke layar kecil seukuran 4 inchi itu.
Apakah demikian hidup ini? Apakah hidup itu hanya diisi kesibukan berpindah dari kerumunan yang satu ke kerumunan yang lain. Berupaya agar mereka terus dilihat dalam setiap keramaian yang tidak lagi digarisi oleh waktu. Yang tergopoh-gopoh menyambut setiap ada tanda merah terlihat atau suara "ping" terdengar. Yang terhenyak saat tersadar, ternyata, sejam telah berlalu dan masih saja kita berkutat di kerumunan yang sama. Memperbincangkan hal yang sama yang tidak berkesudahan. Tidak beranjak ke mana-mana dan tidak melakukan apa-apa.
Pada hari saat Presiden dilantik, hari Minggu kemarin, aku kembali tidak menolak dimintai mas Bas menemaninya mencumbui alam. Mengambili foto-foto di Hutan Mangrove PIK dengan ditemani sebotol kopi favorit dan sepotong roti yang ditaburi kacang almond adalah aktifitas yang benar-benar sangat menyenangkan hari Minggu kemarin. Melihati ranting, burung, air, dan matahari yang mulai menghilang saat senja dengan bayang-bayang tumbuhan mangrove adalah pemandangan sangat mewah bagi saya. Tidak lupa, bertemankan buku  yang sejak tiga minggu lalu belum juga usai saya baca .. hhmmm... ternyata aku baru paham: bahwa dunia tanpa gawai itu sangat damai!!
Ternyata, selama 2 hari itu tanpa gawai itu pula, saya juga seperti disadarkan oleh "kesimpulan" kecil: bahwa (ternyata) media sosial selama ini telah merenggut banyak hal dari hidupku....
Selamat datang kembali hari Senin