"Yah, tolong bantu mengerjakan PR matematika untuk Farah. Ditunggu. Cepat!" suara dalam hape saya membuat saya hampir terpelanting dari mimpi. Jarum jam masih menunjukkan pukul 03.00 dinihari. Â
Meski masih sangat mengantuk, namun pesan "penting" dari istri saya itu, ternyata, membuat saya tidak berhasil tidur kembali.
Usai membuat secangkir kopi sachetan, saya buru-buru men-download soal matematika yang dikirimkan istri saya melalui aplikasi pertukaran pesan. Usai mendonlot dan melihat soal-soal itu, saya agat kaget.Â
Saya, ternyata, tidak bisa mengerjakan soal-soal itu semuanya. Ada beberapa yang sulit. Maka, saya pun terpaksa membuka internet mencari-cari soal yang serupa untuk menyelesaikan soal-soal sulit itu.
"Ini gara-gara Sinta (kakaknya Farah) tak bisa mengajari adiknya kemarin malam," tulis istri saya usai saya kirimi jawaban soal sejam kemudian.Â
"Mungkin karena kesal adiknya tidak lekas paham, atau Sinta juga tidak paham, kakaknya mengajari adiknya dengan setengah marah-marah. Farah menangis sesunggukan."
"Hanya dua soal yang sempat mereka berdua kerjakan tadi malam sebelum Farah menangis. Farah lalu aku ajak tidur."
"Tentu saja. Soalnya sulit," balasku.
"Mama  tidak bisa mengerjakan," begitu pesan istri saya diiringi emoticon sedih bertubi-tubi.
Saya tak berniat membalasnya. Yang jelas, usai itu, saya hanya bisa membatin: kasihan Farah. Ibunya yang menjadi sandaran terakhir di rumah, yang seorang sarjana itu, ternyata, harus menguras banyak pikiran bahkan harus menyerah untuk sekedar membantu anaknya menyelesaikan soal (PR matematika) yang dibuat untuk anak kelas tiga SD. Kakaknya yang sudah duduk di SMA jurusan IPA juga serupa.Â
Suatu pagi, ketika saya pulang ke Surabaya, saya pernah berkesempatan mengantarkan Farah sekolah. Menaiki motor matik, tas Farah berusaha saya taruh di depan, diantara setang dan sedel motor.Â