"Seharusnya cukup diganti keramiknya saja," kata mereka.
Mereka umumnya menyayangkan pelebaran ruas trotoar di jalan Prof. DR. Satrio yang mengurangi/menghilangkan hingga satu lajur ruang jalan raya.Â
Di beberapa titik, seperti yang saya lihat, memang terlihat trotoarnya dibuat sangat lebar (bahkan lebih lebar dibandingkan jalan rayanya!). Maka, akibatnya, jalan yang biasanya sangat macet itu kini kian macet saja.
Apakah langkah dan harapan Anies untuk mengurangi kemacetan dengan cara memperlebar beberapa titik (ruas) trotaor akan berhasil? Apa indikator yang akan digunakan dan disepakati bersama untuk mengukur keberhasilan program Anies itu?
Apakah program Anies, (bagi saya - seperti judul artikel ini), bakal bisa melawan realitas dan kebiasaan?
"Melawan realitas dan kebiasaan?" tanya El, teman saya, saat kami bersama-sama menyantap makan siang di warung mak Ijah kemarin siang. Warung mak Ijah terletak tidak jauh dari kawasan bisnis Mega Kuningan Jakarta.
"Ya," jawab saya sembari menyeruput es teh setengah manis.
"Bukankah, adalah fakta dan realitas, bahwa orang Indonesia adalah masyarakat paling malas untuk berjalan kaki?"
El menggeser kursinya.
"Seberapa kerap kita menemukan orang-orang di sekitar kita yang (katakanlah) mau membeli roti dan tisu di Indomart saja mereka harus naik motor atau (bahkan) mobil?"
Kepada El, saya lantas mengingatkanya kepada hasil sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2017 oleh para peneliti dari Universitas Stanford, Amerika Serikat. Studi tersebut menemukan fakta bahwa orang Indonesia (ternyata) adalah orang paling malas berjalan kaki.