Ini sepotong kisah kecil tentang Gus Dur. Dan dua orang sahabatnya: Kiai Syukri Zarkasi dan Gus Mus.
Pada sekitar tahun 1960-an, setiba di Mesir, Syukri Zarkasi meniatkan diri mengunjungi salah satu pondokan pelajar Indonesia di sana. Ia disambut dengan hangat oleh tuan rumah, yaitu Gus Dur dan Gus Mus. Sesuai adab timur, untuk menghormati sang tamu, Gus Mus segera memasak air. Gus Dur ikut sibuk. Ia mencuci piring dan gelas, lalu masuk kamar, keluar dan membawa sepotong celana dalam lelaki, dan kemudian menggunakannya untuk mengelap gelas dan sendok yang akan dipakai untuk menjamu Syukri Zarkasi. Tentu saja Syukri terperanjat. Selera makannya menjadi hilang. Gus Mus pun protes.
Tetapi ..
"Ini celana dalam baru, belum dipakai. Bahannya sama dengan serbet yang bersih," jawab Gus Dur.
Bagi sebagian orang, "tragedi" celana dalam itu bisa dianggap sebagai kisah lucu. Beberapa orang mungkin akan membatin "betapa jahilnya Gus Dur". Namun, bagi saya, kisah itu tak sekedar lelucon, tetapi ternyata sarat akan makna, yaitu filosofi hidup. Pertama, bahwa betapa imajinasi itu sangat memengaruhi hampir semua sikap, pandangan, respon, pendapat dan tanggapan kita atas sesuatu. Â
Yang kedua, bahwa benar adanya apa yang kita lihat (baca: apa yang masuk ke dalam pikiran kita) ternyata juga akan memengaruhi sikap, respon, pendapat dan perilaku bahkan akan membentuk kita akan seperti apa. Kedua pernyataan yang saya tulis ini tentu bukan tanpa dasar. Karena: apa iya tanggapan dan respon dua orang sahabat Gus Dur itu, Syukri Zarkasi dan Gus Mus, akan tetap sama, misalnya, jika Gus Dur mengelap gelas itu dengan bahan yang sama namun berwujud kotak (bentuk serbet)? Atau, misalnya, Gus Dur mengelap gelas dengan celana dalam tetapi dilakukan di ruangan lain yang tidak terlihat keduanya?
Sesuatu yang sama (dalam kisah itu adalah kain) namun berbeda wujud (image) ternyata bisa menimbulkan persepsi, pandangan, pendapat, respon, tanggapan bahkan emosi yang berbeda-beda yang bahkan keduanya bisa saling bertolak belakang. Kita tentu saja akan protes, marah, merasa jijik atau bahkan akan merasa mual jika kain itu berwujud celana dalam. Namun, kita akan diam membiarkan jika kain itu berwujud serbet. Â
Jadi, meski hanya berupa kain, tetapi wujud yang berbeda akan menghasilkan akibat yang akan berbeda. Sikap yang bias ini justru kerap menjebak kita.
Apakah seperti itu kita semua pada dasarnya?
Yang kedua, penjelasan bahwa informasi yang masuk ke dalam pikiran kita itu juga ternyata tak kalah penting perannya membentuk diri kita akan seperti apa -- selain imajinasi. Bahwa Gus Mus yang protes dan Syukri Zarkasi yang terperanjat dan mual-mual itu, semata-mata, bukankah karena dua orang sahabat itu melihat Gus Dur mengelap gelas dan sendok dengan celana dalam? Informasi yang masuk dalam pikiran usai melihat kejadian membuat imajinasi bekerja secara reflek. Jadi, misalnya, jika Gus Mus dan Syukri Zarkasi tadi tidak melihat Gus Dur mengelap gelas dan sendok dengan celana dalam, maka, apakah benar keduanya akan terperanjat dan marah? Tentu saja tidak, karena jelas tidak ada informasi yang masuk dalam pikiran. Nir-informasi membuat imajinasi seseorang menjadi tidak bekerja.
Jadi sejatinya, dengan kata lain, saya dapat mengatakan bahwa apa yang telah kita masukkan dalam pikiran dan hati kita itulah yang menentukan seperti apa diri kita.