Venezuela (sudah) menyampaikan kepada kita tentang banyak kisah.
Dan pelajaran. Â Â
Venezuela adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia. Cadangan minyaknya adalah sebanyak 296,5 miliar barel di akhir tahun lalu, berdasarkan informasi dari World Energy. Untuk memudahkan kita membayangkan seberapa besar cadangan itu; cadangan minyak Arab Saudi yang kaya raya itu "hanya" 265,4 miliar barel.
Maka, menurut logika gampangan saya, Venezuela seharusnya bisa lebih makmur dibandingkan Arab Saudi. Dan lebih kaya.
Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian.
Inflasi kini telah dan terus mengguncang ekonomi negara berpenduduk 32 juta orang itu. Mata uangnya terus merosot. Hingga tak berharga sama sekali.
Dengan mata uang yang tak lagi berharga, kertas tisu dijual 2,6 juta, dan daging ayam dijual 14,6 juta.
Sedemikian tak berharganya, seperti saya baca dari Detik.com, kini mata uang Venezuela pun bahkan dijadikan bahan kerajinan Tas.
Di tengah serangan inflasi yang tidak terkendali, Venezuela kini juga menghadapi kesulitan multi dimensi lain. Yang tak kalah mengerikan dari serangan inflasi. Yaitu: legitimasi Pemilu.
Bisikan-bisikan ketidakpercayaan itu kini terus berhembus. Atau malah sengaja dihembuskan.
Usai Nicolas Maduro (56 tahun) resmi dilantik memimpin kembali Venezuela di masa jabatan kedua pada Kamis (10/1/19) waktu setempat, banyak dari rakyatnya malah tidak mengakuinya. Beberapa negara lain pun kini mengambil sikap yang serupa.
"Tidak ada kebebasan dan demokrasi," kata mereka. Â Â
Peru dan Paraguay sudah mengambil keputusan. Mereka sudah memutuskan hubungan diplomatik  dengan Venezuela.
Argentina juga sama. Mereka membekukan paspor diplomatik dan melarang diplomatnya ke Venezuela.
Sebelum Maduro dilantik, organisasi negara-negara Amerika (OAS) juga memilih untuk tidak mengakui hasil pemilu.
Juan Guaido kini juga telah menyatakan dirinya sebagai presiden Venezuela sementara. AS dan sekutu pun seperti mendapatkan alasan agar mereka bisa melakukan campur tangan memberikan dukungan kepada kelompok oposisi.
Guaido sebelumnya adalah Ketua Dewan Nasional Venezuela yang sedang berupaya menggulingkan Presiden terpilih Nicolas Maduro.
Babak baru krisis Venezuela juga telah dimulai pada Rabu (23/1/2019) usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan dukungan bagi Juan Guaido. Keputusan ini telah mendapat sorotan dan tanggapan dari banyak pihak.
Menyebut Maduro "diktator menyedihkan", Kementerian Luar Negeri AS mengajak militer maupun pasukan keamanan untuk berpihak kepada Guaido.
Tetapi, menteri Pertahanan Venezuela Vladimir Padrino merespon dingin ajakan AS dengan menegaskan militer tidak akan menanggalkan sumpah setia mereka kepada Maduro.
"Tentara kami tidak akan menerima presiden yang mendeklarasikan dirinya sendiri di luar konstitusi yang berlaku," tegas Padrino dikutip BBC.
Venezuela yang kaya, yang seharusnya lebih kaya dari Arab Saudi, kini berada dalam keadaan sangat mengerikan. Dukungan AS bagi kelompok tertentu di Venezuela bisa dengan mudah memicu perang saudara.
Venezuela (sudah) menyampaikan kepada kita tentang banyak kisah.
Teriakan "pemilu tidak sah!" atau "tidak ada kebebasan dan demokrasi," kini tak lagi sekedar dalih. Di Venezuela, teriakan itu sudah berubah menjadi senjata pemusnah sangat menakutkan.
(TF: dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H