Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tukang Kutip

27 November 2018   16:38 Diperbarui: 27 November 2018   17:57 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar ilustrasi: psdgraphics.com

KATA-KATA yang dikutip salah satu calon Presiden dari fisikawan peraih Nobel dari Amerika Serikat saat dia berkunjung ke Indonesia sedang ramai dipercakapkan di ruang media.

"Jika Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, di Universitas Indonesia (UI) yang menjadi perguruan tinggi terbaik, hanya memiliki satu profesor fisika," demikian bunyi kutipan yang menuai beragam pendapat itu.

Kutip, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bisa berarti mengambil perkataan atau kalimat (biasanya beberapa potong kalimat) dari buku dan sebagainya atau mengumpulkan dari berbagai sumber.

Jika kita merujuk makna dari kata "kutip" seperti yang ditulis di KBBI tersebut, maka, pada jaman dimana internet dan gadget telah menjelma menjadi kebutuhan primer -- sejajar dengan bahan pokok nasi, rasaya, hampir tidak ada dari kita yang hampir tidak pernah melakukan "kutip-mengutip". Di ruang WAG (WhatsApp Group), setidaknya, dalam sehari saya bisa menerima beberapa kali kiriman dengan caption "maaf, dari group sebelah atau tetangga".

Ada, sebenarnya, beberapa persoalan yang bisa muncul dari perkara ''kutip-mengutip'' ini. Pertama: etika. Sumber yang mengutip sumber lain, sering enggan menyebutkan dari sumber mana ia mengutip informasi itu. Maaf, saya juga kadang-kadang, karena satu dan dua hal, tak sengaja, lupa, enggan atau memang tidak berniat, untuk menyebutkan dari sumber atau media mana saya mengambil kalimat atau potongan kalimat yang saya kerap jadikan sebagai rujukan atau referensi untuk menguatkan kesimpulan atau sekedar pernyataan atau artikel yang saya tulis.

Permasalahan yang kedua, yang menurut saya justru ini lah yang paling penting dari masalah pertama, adalah: apakah orang atau media yang mengutip tersebut sudah melakukan proses yang seharusnya; verifikasi dan konfirmasi? Verifikasi dan konfirmasi adalah proses sangat penting sebelum orang atau media menyebarkan berita atau informasi. Sudah sangat kerap kita baca, kita dengar, dan mungkin kita sendiri mengalami, pada saat kita menerima kabar atau informasi dari teman atau dari group lain, kita tanpa melakukan proses apapun, asalkan berita atau kabar atau informasi itu "menarik" menurut format atau selera, kita langsung membagikan ke orang lain.

Dan, fatalnya, orang yang menerima informasi dari kita, tanpa melakukan proses apapun, juga membagi-bagikan ke group-group yang lain. Demikian seterusnya dan seterusnya, informasi itu beranak pinak ribuan kali dengan cepat.  

Menurut disiplin ilmu quality (bidang keilmuan yang saya pelajari), makna "verifikasi" (saya melakukan sedikit ubahan atas makna untuk memudahkan mengartikan) adalah sebagai berikut: Verifikasi adalah proses mendapatkan konfirmasi kesesuaian terhadap  "objective evidence" (ISO:2015). "Objective evidence" adalah bukti objektif yang sesuai dengan subyek yang bisa berupa: dokumen atau pernyataaan yang tertulis (subyek yang sama), yang wujudnya benar-benar ada, bukan yang kata orang, katanya, atau yang berasal dari sesuatu yang wujudnya tidak ada.

Jika persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh "objective evidence" telah dipenuhi, maka barulah kita bisa menyebut bahwa sesuatu (informasi) tersebut adalah "ter-verified" alias benar.  

Ada banyak cara untuk mem-verifikasi agar persyaratan yang ditentukan oleh "objective evidence" dapat dipenuhi. Misalnya, kita bisa memeriksa sesuatu, dengan melakukan tes, membandingkan satu dengan yang lainnya, atau bisa juga dilakukan dengan memeriksa dokumen lain.

Jika kita melihat "rumitnya" proses verifikasi dan konfirmasi, seperti yang disebutkan di bagian atas, mungkin banyak dari kita yang akan mengguman begini: "it's taking time too long".

"Masak iya mau memberitahu orang lain saja, harus melakukan proses ini dan itu dulu?"

Pernyataan atau pertanyaan diatas bisa benar tetapi bisa juga tidak benar. Sebenarnya ada cara sangat mudah yang bisa segera dilakukan begitu menerima kiriman informasi atau kutipan. Dengan bantuan mesin pencari google, rasanya tidaklah sulit untuk menemukan referensi, sumber, dokumen atau bukti lainnnya. Di internet, informasi apapun kini sangat berlimpah. Kita hanya perlu waktu "semenit" saja maka kita niscaya sudah dapat menaikkan tingkat kebenaran sebuah kutipan atau informasi, meski (bisa saja) proses verifikasi yang lebih masih diperlukan untuk mendapatkan konfirmasi (kebenaran) yang sebenar-benarnya.

Kutip-mengutip sebenarnya adalah lumrah dan jamak dilakukan.  Tetapi, menjelang pesta besar 2019 dan karena terdapatnya kesadaran bahwa pengguna media sosial atau para pendebat di ruang maya kita masih sangat minim kemampuan literasi-nya, maka peran "tukang kutip" pun kini semakin mendapatkan tempat. Mereka hampir senantiasa ada dalam ruang diskusi dan kadang-kadang terlihat sangat elit. Ini tentu bukan tanpa alasan. Semua orang paham, sadar, dan sangat tahu bahwa kutipan-kutipan yang tertentu yang dikemas sangat apik bisa menjadi senjata sangat baik untuk meruntuhkan lawan.

Tukang kutip pun kini semakin berwarna dan ikut memeriahkan hiruk pikuk politik kekinian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun