Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Orang Tidak Bisa Bersikap Realistis?

31 Agustus 2018   15:43 Diperbarui: 1 September 2018   03:03 2262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh! Tak ada bahagia sedikitpun dalam pekerjaanku ketika itu. Setiap hari, aku harus datang ke lapangan, meninggalkan pesan kepada setiap mandor, mengikuti rapat dan membuat laporan, datang ke toko-toko bangunan lalu merengek meminta diskon, membawa contoh segala macam barang. Setiap malam, aku harus mensortir puluhan kuitansi lalu membuat rekap.

Setiap Jumat aku harus rela menerima omelan dari pemilik toko-toko karena tagihannya belum dibayar oleh kasir kantor.

Tapi, aku lebih beruntung dari Pram karena aku masih memiliki sikap realistis. Aku sangat sadar, jika aku tak segera pergi, aku bakal menjadi seorang ayah yang gagal. Pegawai bagian umum, lulusan perguruan tinggi terkenal dengan nilai bagus, bekerja lebih dari 10 jam sehari, hidup di kontrakan pengap di daerah Cilandak seharga 700 ribu sebulan.

Setelah aku melihat tak ada lagi masa depan, aku tiba-tiba seperti tak lagi peduli dengan nasehat sangat bijak: "sabar". Bagiku, nasihat "sabar" sudah hampir membuatku mati lemas waktu itu. Sudah hampir enam tahun lamanya aku membetah-betahkan diri mengabdi hanya di satu perusahaan yang menggajiku dengan nilai sangat rendah.

Setiap pulang kerja, menjelang jam 9 malam, aku sering duduk di bawah pohon mangga, di pinggir lapangan basket, di dekat kamar kontrakanku. Menghadap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, aku sering merenungi nasib.

Namun, aku sekali lagi beruntung tak seperti Pram. Ketika aku mendapatkan kontrak untuk bekerja di negeri aprikot, secepat kilat aku sambar amplop tebal, aku tandatangani dan segera menyerahkan kembali ke mbak-mbak HRD yang cantik itu.  

Demi Farah, anakku yang cantik dan pintar, aku meninggalkan Indonesia.

Aku harus mengambil sikap realistis. Bahwa membangga-banggakan masa silam itu sama saja dengan memelihara parasit. Aku harus melupakan betapa aku dulu pernah berdiri gagah di depan ruang kelas, dan berdebat di depan guru soal rumus integral dan geometri yang rumit. Atau ketika puluhan kali aku berdiri di panggung sambil mengangkat piala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun