Pram tampak tidak seperti biasanya sore kemarin.
"Aku seperti tidak antusias menyelesaikan tumpukan pekerjaan-pekerjaan kantorku mas," begitu pesan yang sempat aku baca di gawaiku.
"Apa kamu sudah bicara dengan istrimu?"
"Belum, mas," balasnya.
"Jadi kamu sudah memutuskan tidak jadi berangkat?"
Pram tidak segera menjawab pertanyaanku. Tetapi, aku sebenarnya tak benar-benar butuh jawabannya. Sudah kesekian puluh kali ia gamang.
Aku paham siapa Pram karena dalam banyak kesempatan, ia kerap membagikan kisahnya. Kisah tentang perang di batinnya.
Aku merekan dengan baik semua kisah-kisahnya. Ada kalanya ia merasa sangat lelah dengan pergolakan batinnya itu. Ia sebenarnya punya mimpi. Tetapi, sayangnya, mimpinya itu lebih sering dikalahkan oleh passionnya dan oleh orang-orang di sekitarnya. Salah satunya, yang saya tahu, ya termasuk istrinya itu.
Aku sebenarnya sangat merasa kasihan dengan Pram. Lelaki pendiam itu tak seharusnya "bernasib" menjadi karyawan biasa di perusahaan tempat ia bekerja sekarang. Ia lulusan dari universitas terbaik dengan nilai terbaik (satu angkatanya). Aku mengagumi masa lalunya yang membanggakan itu.
Puluhan kali aku sudah memberinya saran. Namun, ya itu tadi, hasratnya sering dikalahkan kegamangan dan orang-orang di sekitarnya.
Aku pernah bercerita kepadanya bahwa aku sebenarnya juga pernah seperti dia. Yang pernah lelah dengan pergolakan batin.
Sungguh! Tak ada bahagia sedikitpun dalam pekerjaanku ketika itu. Setiap hari, aku harus datang ke lapangan, meninggalkan pesan kepada setiap mandor, mengikuti rapat dan membuat laporan, datang ke toko-toko bangunan lalu merengek meminta diskon, membawa contoh segala macam barang. Setiap malam, aku harus mensortir puluhan kuitansi lalu membuat rekap.
Setiap Jumat aku harus rela menerima omelan dari pemilik toko-toko karena tagihannya belum dibayar oleh kasir kantor.
Tapi, aku lebih beruntung dari Pram karena aku masih memiliki sikap realistis. Aku sangat sadar, jika aku tak segera pergi, aku bakal menjadi seorang ayah yang gagal. Pegawai bagian umum, lulusan perguruan tinggi terkenal dengan nilai bagus, bekerja lebih dari 10 jam sehari, hidup di kontrakan pengap di daerah Cilandak seharga 700 ribu sebulan.
Setelah aku melihat tak ada lagi masa depan, aku tiba-tiba seperti tak lagi peduli dengan nasehat sangat bijak: "sabar". Bagiku, nasihat "sabar" sudah hampir membuatku mati lemas waktu itu. Sudah hampir enam tahun lamanya aku membetah-betahkan diri mengabdi hanya di satu perusahaan yang menggajiku dengan nilai sangat rendah.
Setiap pulang kerja, menjelang jam 9 malam, aku sering duduk di bawah pohon mangga, di pinggir lapangan basket, di dekat kamar kontrakanku. Menghadap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, aku sering merenungi nasib.
Namun, aku sekali lagi beruntung tak seperti Pram. Ketika aku mendapatkan kontrak untuk bekerja di negeri aprikot, secepat kilat aku sambar amplop tebal, aku tandatangani dan segera menyerahkan kembali ke mbak-mbak HRD yang cantik itu. Â
Demi Farah, anakku yang cantik dan pintar, aku meninggalkan Indonesia.
Aku harus mengambil sikap realistis. Bahwa membangga-banggakan masa silam itu sama saja dengan memelihara parasit. Aku harus melupakan betapa aku dulu pernah berdiri gagah di depan ruang kelas, dan berdebat di depan guru soal rumus integral dan geometri yang rumit. Atau ketika puluhan kali aku berdiri di panggung sambil mengangkat piala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H