Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dilema Pers di Tengah Konstelasi, Partisan atau Idealis?

18 Agustus 2018   15:08 Diperbarui: 18 Agustus 2018   15:50 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto ilustrasi; portalsatu.com

Pers dan produksi pers kembali disorot dan ramai diperbincangkan. Ini terjadi setelah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DIY mengeluarkan fatwa haram menonton tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC).

PWNU DIY menilai acara ILC  sarat provokasi dan mencemarkan nama baik.

Fatwa haram itu dikeluarkan PWNU DIY hanya beberapa hari usai Mahfud MD, sosok yang tak jadi mendampingi Presiden Joko Widodo sebagai calon wakil presiden, berkisah mengenai situasi yang terjadi hingga dirinya harus terhempas di acara Indonesia Lawyers Club.

Namun, Karni Ilyas, Direktur Pemberitaan atau Pemimpin Redaksi News and Sports TvOne yang juga pembawa acara ILC, membantah pihaknya melakukan provokasi dan pencemaran nama baik seperti yang dituduhkan.

Fatwa haram atas tayangan ILC itu terus menjadi bahan perbincangan.

Pelbagai pendapat, yang pro dan yang kontra, bertebaran ditulis di kolom-kolom komentar. Mereka menyampaikan rupa-rupa dalil dan alasan yang (tentunya) sesuai dengan format dan selera masing-masing.

Seperti biasanya.

Namun, tulisan saya ini tidak hendak bicara soal fatwa itu. Saya putuskan membiarkan orang-orang yang berkompeten untuk menelaahnya. Dan memutuskannya.

Jadi, saya akan membahas hal yang lain (tetapi masih berkaitan dengan keributan fatwa itu); tentang pers dan produk pers yang independent. Pers yang menjadi pihak ketiga, yang tidak memprovokasi. Tentang dilema pers.

Di tengah tarik-menarik kepentingan politik, pers Indonesia memang kerap menghadapi dilema yang senantiasa  sama. Tidak pers A tidak juga pers B. Kondisi ini terjadi bukan tanpa alasan. Di tahun politik, di tengah-tengah kompetisi, pers memang diketahui memiliki posisi amat sangat strategis.

Banyak pemilik memercayai anggapan sekaligus kesimpulan bahwa televisi masih dinilai menjadi alat sangat sangat efektif memengaruhi pilihan politik. Ini tidak salah memang.

Maka, menjadikan produk pers yang benar-benar independen, yang bertanggung jawab, beretika, dan berkepatutun, di tengah tarik-menarik itu, adalah pekerjaan tidak gampang bagi setiap insan pers.

Karena posisi pers yang sangat strategis itulah, saya yakini, membuat banyak wartawan akhirnya terjebak di antara dua pilihan sangat sulit; mengiyakan kepentingan politik para pemilik atau menjaga idealisme wartawan yang harus setia dengan etika jurnalis. Yang partisan atau yang independen?

Karena alasan masing-masing yang sangat pribadi, (mungkin) banyak dari mereka yang akhirnya memilih bersikap pragmatis; memilih tanggung jawab sebagai karyawan daripada sebagai wartawan.

Setujukah pilihan diatas salah?

Tidak selalu salah, menurut saya. Jika saya seorang wartawan, saya pun mungkin akan memilih yang pertama; memilih melaksanakan pekerjaan sebagai karyawan, meski naluri saya sebenarnya berkata lain.

Namun, bagaimanapun juga, saya tetap bersepakat bahwa di tengah dilema antara kepentingan politik dan idealisme wartawan yang harus setia dengan etika jurnalis, tuntutan untuk  tetap menjaga agar media bisa menjadi milik semua rakyat harus terus dijunjung.

Setelah reformasi 1998, pers Indonesia memang menemukan kebebasannya. Sebelum itu, pers Indonesia seperti dipelihara dan sangat diatur. Pers tak boleh berteriak, apalagi menghujat. Kritik, jika ada, harus disampaikan dengan bahasa sangat santun.

Namun, sayangnya, setelah kebebasan didapatnya, saya lihat pers justru kerap terkerangkeng kepentingan.

Di tengah-tengah konstelasi politik menjelang Pilpres 2019, pers saya yakini akan semakin sulit menemukan identitas diri yang sebenarnya.


Sum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun