Maka, menjadikan produk pers yang benar-benar independen, yang bertanggung jawab, beretika, dan berkepatutun, di tengah tarik-menarik itu, adalah pekerjaan tidak gampang bagi setiap insan pers.
Karena posisi pers yang sangat strategis itulah, saya yakini, membuat banyak wartawan akhirnya terjebak di antara dua pilihan sangat sulit; mengiyakan kepentingan politik para pemilik atau menjaga idealisme wartawan yang harus setia dengan etika jurnalis. Yang partisan atau yang independen?
Karena alasan masing-masing yang sangat pribadi, (mungkin) banyak dari mereka yang akhirnya memilih bersikap pragmatis; memilih tanggung jawab sebagai karyawan daripada sebagai wartawan.
Setujukah pilihan diatas salah?
Tidak selalu salah, menurut saya. Jika saya seorang wartawan, saya pun mungkin akan memilih yang pertama; memilih melaksanakan pekerjaan sebagai karyawan, meski naluri saya sebenarnya berkata lain.
Namun, bagaimanapun juga, saya tetap bersepakat bahwa di tengah dilema antara kepentingan politik dan idealisme wartawan yang harus setia dengan etika jurnalis, tuntutan untuk  tetap menjaga agar media bisa menjadi milik semua rakyat harus terus dijunjung.
Setelah reformasi 1998, pers Indonesia memang menemukan kebebasannya. Sebelum itu, pers Indonesia seperti dipelihara dan sangat diatur. Pers tak boleh berteriak, apalagi menghujat. Kritik, jika ada, harus disampaikan dengan bahasa sangat santun.
Namun, sayangnya, setelah kebebasan didapatnya, saya lihat pers justru kerap terkerangkeng kepentingan.
Di tengah-tengah konstelasi politik menjelang Pilpres 2019, pers saya yakini akan semakin sulit menemukan identitas diri yang sebenarnya.
Sum