Sekitar bulan Maret tahun 2017, pesan singkat berantai pernah membuat geger ibu-ibu. Gegara berita, mereka kalang kabut memikirkan keselamatan anak-anaknya saat pulang sekolah. Namun, setelah diusut, itu ternyata hoax. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sendiri yang menyatakan kabar penculikan anak yang beredar melalui pesan singkat berantai serta di dunia maya itu tidak benar.
Hoax itu sangat keji dan kejam. Ia bukan hanya pernah membuat ibu-ibu kalang kabut, tetapi bahkan hampir semua pemimpin-pemimpin dunia pun dibuat was-was.
Hoax itu (dan ujaran kebencian) saya gambarkan seperti peluru-peluru sangat tajam. Ia melesat, menerjang dan memporak porandakan apa saja dalam waktu sekejap.
Seorang mahasiswa di India pun terpaksa harus menghabiskan lima bulan hidupnya di kerangkeng besi gara-gara pesan WhatsApp. Menurut berita lokal, mahasiswa itu terpaksa ditahan karena pesan yang beredar di grup WhatsApp dimana ia adalah salah satu anggotanya. Padahal, akunya, ia tidak mengirim pesan itu. Tetapi, karena admin  yang lama sudah pergi, dan ia didapuk menjadi admin baru, ia akhirnya menjadi tersangka dan dipenjara.
Di Indonesia, seperti dilansir dari media dan situs resmi, nasib serupa juga pernah terjadi. Salah seorang warga Pontianak asal Kota Bandung, menjadi korban hoax isu penculikan anak. Massa yang kalap dan beringas memukulinya hingga nyawanya tidak bisa diselamatkan.
Di negara-negara Timur Tengah, akibat hasutan hoax jauh lebih mengerikan. Di negara-negara kawasan Timur Tengah, kelompok-kelompok yang tidak suka dengan pemerintahan yang sah juga menggunakan media sosial sebagai alat perang. Mereka merekrut, melatih dan menggunakan organisasi-organisasi yang dibentuk dan dibayar untuk menyebarkan hasutan di media sosial. Cara-cara mereka pun sangat rapi dan profesional. Turki adalah salah satu contohnya.
Di Turki, pemerintahan yang sah menghadapi rupa-rupa hasutan, agar rakyat membenci pemerintah. Mereka berusaha menghasut untuk memerangi dan menjatuhkan pemerintahan pimpinan Erdogan.
Dengan memanfaatkan media sosial, baik itu twitter, facebook, instagram dll, mereka melancarkan kudeta pada bulan Mei 2016. Hasutan dan ajakan-ajakan provokatif disebarkan melalui media sosial. Sialnya, masyarakat Turki yang sedang dihasut, tidak sadar. Mereka, tanpa mencerna, melahap setiap berita dan informasi yang disebar di media sosial.
Namun, upaya menjatuhkan itu berhasil digagalkan Erdogan. Ia menangkap dan memenjarakan setiap orang yang terindikasi dengan kelompok pemberontak. Mereka yang terbukti terlibat lalu dieksekusi, dipenjara atau dihukum mati. Erdogan memang sangat tegas.
Selain Turki, banyak lagi contoh dan tempat di Timur Tengah yang serupa dengan kejadian yang menimpa Erdogan. Konflik yang terjadi di banyak tempat, yang melingkar-lingkar tak karuan, dan tak kunjung usai, seperti roda, salah satunya juga disebabkan karena masyarakat yang gampang dihasut.
Di jaman serba liberal ini, dimana semua manusia terhubung dalam gawai, masyarakat benar-benar seperti bukan lagi manusia yang sewajarnya. Manusia seperti menjadi budak mesin. Mereka adalah target dan sasaran sangat empuk. Karena kebanyakan orang masih suka melahap berita-berita di media sosial dan bernafsu menyebarkannya. Ribuan berita bohong soal makanan, soal simbol negara, soal nama, soal agama, soal gerhana, soal gambar mata uang, soal peristiwa disebar, diposting, dan diungguh.
Kalo dipikir pikir, pesatnya industri hoax, sebenarnya salah-satunya adalah karena kita sendiri sebagai konsumen media sosial yang ikut menyuburkannya. Naluri alamiah setiap manusia yang suka dengan hal-hal yang menggundang decak kagum, perasaan dan emosi, dan suka menggunjing membuat rambatan hoax semakin menggila.
Pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang ITE dan peningkatan kerja polisi cyber, sudah dan sedang berusaha menghentikan hoax. Yang terbaru adalah Pemerintah bakal menerapkan aturan dimana Pemerintah bakal tak segan-segan untuk mendenda media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan lainnya ini jika ditemukan fakta media sosial itu dengan sengaja membiarkan hoax dan hate speech beredar di platform mereka.
"Ya, nanti akan didenda," tegas Dirjen Aptikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan.
Berapa jumlah dendanya, Pemerintah masih menghitungnya. Semuanya harus sesuai dan mengikuti aturan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kata Pemerintah.
Kendati hitung-hitunganya sedang dirumuskan, Pemerintah mengatakan bahwa dendanya kemungkinan akan sama persis dengan aturan yang ada di Eropa dan Jerman.
Semangat Pemerintah untuk membuat aturan untuk mendenda media sosial patut kita dukung, karena kita tidak ingin negara sebesar Indonesia ini pecah, menjadi sejarah. Bahkan, sebenarnya, tidak hanya denda saja, malah aturan-aturan baru yang lebih ketat untuk menyudahi hoax juga sangat diperlukan dan patut kita dukung.
Di India, aturan sangat ketat sudah diberlakukan. Di negeri itu, di bawah undang-undang IT, bahkan admin dari grup WhatsApp pun bisa dipenjara apabila mereka terbukti menyebarkan berita yang dianggap menghina agama atau politik. Ancaman ini benar-benar mengerikan dan bukan main-main, karena bisa saja penyebar konten negatif itu bukan admin group, tetapi anggotanya.
Di Indonesia, dengan ratusan juta pengguna aktif, pengguna-pengguna media sosial kerap terjebak (sengaja dijebak) dalam kasus-kasus berita palsu tentang agama dan politik, apalagi sekarang adalah tahun politik, menjelang Pilpres 2019.
Sumber foto ilustrasi; tribunnews
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI