Kesengajaan mengaburkan dan membuat tidak transparannya algoritma media sosial, salah satu sisi gelap media sosial, yang jarang dipahami banyak orang, dimanfaatkan benar oleh mereka.Â
Persepsi itu dibentuk dengan cara mencampur-adukkan fitnah dan fakta. Semua dibuat kabur. Benar dan salah, baik dan buruk, dicampur-campur menjadi satu. Agar tampak meyakinkan, dalil-dalil agama dipakai. Abu-abu dibilang putih keruh, dan di lain tempat dibilang hitam keputih-putihan.
Bagi yang paham, ini jelas bukan sekadar akibat dari bias konfirmasi dan sesat logika semata, tetapi, ini adalah pekerjaan yang disengaja.
"Padahal, bukankah, bersatu dan melangkah bersama ke depan untuk memajukan Indonesia dan memperkuat demokrasi adalah segala-galanya ya pak," kata temanku, yang bekerja menjadi seorang dokter muda, mengomentari penjelasanku soal persepsi diatas.Â
Kopi di atas meja di depan kami sudah tak tersisa. "Seharusnya mereka paham itu ya pak, ketimbang terus menyerang dan mencari kuasa."
Kalo boleh saya umpamakan, persepsi itu seperti lilin mainan anak-anak. Ia bisa dibentuk sesuka anak-anak, menjadi kotak, bulat, atau lonjong.Â
Di negeri dengan rakyatnya yang berwarna warni ini, bisnis ini diyakini tak akan pernah surut.Â
"Politics is the art of the possible, the attainable --- the art of the next best"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H