Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persepsi Politik, Bagaimana Ia Terbentuk?

14 Mei 2018   15:13 Diperbarui: 14 Mei 2018   15:28 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Dari sekian banyak kutipan politik, inilah salah satu kutipan paling saya ingat karena arti dan maknanya. Sebenarnya masih banyak yang lainnya, namun kali ini cukup ini saja yang saya ingin tulis.

Tetapi, saya tak berniat mengupas kutipan diatas utuh-utuh. Saya hanya tertarik dengan 4 kata yang pertama saja - politics is the art! Politik adalah seni. Seni? Ya, seni. Lebih tepatnya adalah, politik itu seni memainkan persepsi. Mengapa demikian?

Saya berusaha menjawab dari apa yang saya amati. Mereka adalah teman-teman saya sendiri. Malah, anggap saja, saya sendiri juga menjadi objek amatan itu. Benarkah pilihan politik teman-teman saya dan saya ditentukan oleh persepsi?

Saya melakukan riset kecil dengan cara mengamati dinding-dinding medsos teman-teman saya. Status dan rupa-rupa informasi yang berseliweran saya cermati. Apa yang saya dapat setelah sekian bulan? 

Saya agaknya mendapatkan hal menarik; sebagian besar dinding medsos teman-teman saya yang mendukung Jokowi dipenuhi oleh status dan artikel2 tentang prestasi Jokowi. Demikian pula sebaliknya, teman-teman saya yang pembenci Jokowi, dinding medsos mereka penuh oleh informasi yang buruk tentang Jokowi. 

Jadi, benar belaka dugaan saya sebelumnya, bahwa pilihan politik seseorang itu sebagian besar dipengaruhi oleh persepsi mereka. Bagaimana ia menyerap dan menyimpulkan beragam (dan tentu saja kualitias) informasi melalui apa yang didengar, dilihat, dan diamati sangat memengaruhi persepsi mereka. 

Jadi, bahasa gampangnya adalah, seseorang yang terus menerus menerima, membaca dan mendengarkan informasi negatif tentang Jokowi, hampir dapat saya pastikan, ia akan menjadi pembenci Jokowi.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Itulah penjelasan saya tentang persepsi berdasar riset kecil yang saya lakukan. Dan, penjelasan ini juga sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa orang tak pernah berhenti membuat dan menyebatkan berita hoax. 

Mereka, dengan rupa-rupa cara, terus berupaya membentuk persepsi orang. Status facebook, video, artikel dan segala hal tentang si tokoh A yang lemah, yang tidak cekatan, yang tidak islami, terus diproduksi dan disebar.

Semenjak sebelum pilpres 2014, hoax dengan tujuan membangun dan membentuk persepsi terus dibuat dan bahkan melansir dari beberapa sumber dapat dipercaya, trennya menunjukkan peningkatan. Kita hampir setiap hari terus dijejali dengan berita yang itu-itu saja, tidak lain untuk tujuan seperti yang saya sebutkan di atas.

Isu yang paling akhir adalah isu yang mengatakan bahwa Jokowi itu lemah. Isu ini tampak sengaja disebar dan semakin santer disuarakan setelah terbitnya SP3 HRS. Isu ini banyak muncul di laman-laman medsos, berhimpit-himpitan di ruang pengap bersama dengan isu PKI, hutang negara, TKA, anti Islam dan lain-lain isu yang masih dianggap seksi.

Kesengajaan mengaburkan dan membuat tidak transparannya algoritma media sosial, salah satu sisi gelap media sosial, yang jarang dipahami banyak orang, dimanfaatkan benar oleh mereka. 

Persepsi itu dibentuk dengan cara mencampur-adukkan fitnah dan fakta. Semua dibuat kabur. Benar dan salah, baik dan buruk, dicampur-campur menjadi satu. Agar tampak meyakinkan, dalil-dalil agama dipakai. Abu-abu dibilang putih keruh, dan di lain tempat dibilang hitam keputih-putihan.

Bagi yang paham, ini jelas bukan sekadar akibat dari bias konfirmasi dan sesat logika semata, tetapi, ini adalah pekerjaan yang disengaja.

"Padahal, bukankah, bersatu dan melangkah bersama ke depan untuk memajukan Indonesia dan memperkuat demokrasi adalah segala-galanya ya pak," kata temanku, yang bekerja menjadi seorang dokter muda, mengomentari penjelasanku soal persepsi diatas. 

Kopi di atas meja di depan kami sudah tak tersisa. "Seharusnya mereka paham itu ya pak, ketimbang terus menyerang dan mencari kuasa."

Kalo boleh saya umpamakan, persepsi itu seperti lilin mainan anak-anak. Ia bisa dibentuk sesuka anak-anak, menjadi kotak, bulat, atau lonjong. 

Di negeri dengan rakyatnya yang berwarna warni ini, bisnis ini diyakini tak akan pernah surut. 

"Politics is the art of the possible, the attainable --- the art of the next best"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun