Setelah pemanasan dengan cerita perjalanan, sesi berikutnya lebih personal. Reda mengajak peserta menulis tentang keluarga mereka melalui tema "Kalau Ayahku, Ibuku, atau kalau  Aku."
"Salah satu sumber cerita paling kaya adalah kehidupan kita sendiri," kata Reda. Ia mengundang peserta untuk menulis cerita pendek atau esai reflektif tentang hubungan mereka dengan orang tua.
Dalam suasana yang penuh kehangatan, beberapa peserta membaca tulisannya. Ada yang bercerita tentang kenangan masa kecil bersama ayah hingga berandai-andai kalau ayahnya masih hidup. Bahkan ada yang bercerita penuh imajinasi kalu saja ia bisa hidup di dalam air.
Reda memberikan tips sederhana: "Jangan takut untuk jujur dan menjadi rentan dalam tulisan. Justru di situlah kekuatan cerita kita."
Para peserta belajar bahwa kisah-kisah personal tidak hanya membangun koneksi dengan pembaca, tetapi juga menjadi sarana untuk memahami diri sendiri.Â
Terkadang, menulis tentang hal-hal yang dekat di hati kita justru terasa paling menantang, namun juga paling memuaskan.
Cerita dari Gambar: Inspirasi Visual di Dunia Digital
Sesi berikutnya membawa peserta ke dunia visual. Reda meminta peserta memilih satu gambar atau foto dari Instagram yang menarik perhatian mereka, lalu menuliskan cerita berdasarkan foto tersebut.
"Instagram bukan hanya tempat untuk scroll tanpa henti," canda Reda. "Jika kita mau, kita bisa menemukan banyak inspirasi cerita dari foto-foto di sana."
Metode ini menjadi favorit para peserta.Â
Saya sendiri menceritakan tentang foto makam pahlawan nasional Nyai Achmad Dahlan yang tidak sengaja saya temukan ketika blusukan di Kauman di Yogyakarta. Â Kisah berlanjut dengan kesukaan saya menyambangi kuburan dan makam di pelosok dunia termasuk sudah dijadikan dua jilid buku berjudul Tamasya ke Masa Depan.
Latihan ini menunjukkan bahwa inspirasi menulis bisa datang dari mana saja, termasuk media sosial yang sering kita anggap hanya untuk hiburan.