Ketika kembali dari liburan Nataru, di sebuah SPBU di tol Trabs Jawa, saya sempat terkejut melihat SPBU ini tidak menerima uang tunai . SPBU ini  hanya menerima pembayaran menggunakan kartu kredit, QRIS, atau metode elektronik lainnya.Â
Meski saya memiliki kartu kredit dan bisa melanjutkan perjalanan, pengalaman ini tetap membuat saya bertanya-tanya: bukankah uang tunai masih diakui secara hukum sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia? Bagaimana jika seseorang dalam keadaan darurat dan hanya membawa uang tunai?
Pengalaman ini mengingatkan saya pada beberapa kasus lain yang menunjukkan bagaimana teknologi terkadang digunakan secara berlebihan hingga membatasi akses masyarakat. Salah satunya adalah pengalaman saya di sebuah rumah sakit yang melayani pasien BPJS. Di rumah sakit tersebut, ada pemberitahuan bahwa mulai tanggal tertentu mereka hanya melayani pendaftaran melalui aplikasi JKN Mobile. Tidak ada opsi lain untuk mendaftar secara manual.
Keadaan ini menjadi sangat menyulitkan bagi sebagian masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki smartphone, tidak paham teknologi, atau tidak memiliki akses internet yang memadai. Pertanyaannya: apakah adil jika mereka yang membutuhkan pelayanan kesehatan justru dipersulit hanya karena tidak mengikuti perkembangan teknologi? Apakah pemerintah atau rumah sakit menyediakan perangkat dan pulsa gratis bagi mereka yang tidak mampu?
Pengalaman ini juga mengingatkan saya pada kejadian beberapa tahun lalu di Dubai. Saat itu, saya ingin naik bus, tetapi karena tidak memiliki kartu Nol (sistem tiket elektronik di Dubai), saya langsung ditolak oleh sopirnya. Tidak ada opsi lain untuk membayar dengan uang tunai atau membeli tiket di tempat.Â
Situasi ini juga kerap terjadi di Indonesia, misalnya ketika seseorang ingin naik bus TransJakarta di halte pinggir jalan tetapi tidak memiliki kartu e-money atau sejenisnya . Akibatnya, mereka tidak bisa naik meskipun membawa uang tunai.
Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana pemaksaan teknologi tanpa menyediakan alternatif dapat menciptakan hambatan bagi masyarakat. Dalam kondisi tertentu, hal ini bahkan menjadi bentuk diskriminasi, karena mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan layanan publik secara setara.
Teknologi yang Melayani, Bukan Membatasi
Jepang memberikan contoh menarik tentang bagaimana teknologi dapat digunakan secara bijaksana untuk melayani masyarakat tanpa mengorbankan inklusivitas. Dalam sistem transportasi umum di Jepang, teknologi dan manual berjalan beriringan:
*Di Bus Atau Trem: kalau kita naik bus di Tokyo atau trem di Nagasaki atau Kumamoto, kita memiliki berbagai opsi pembayaran, mulai dari kartu elektrinik seperti Suica atau Pasmo, pas harian, hingga pembayaran tunai langsung ke mesin yang tersedia di dalam bus.dan tren Â
Mesin ini secara otomatis menghitung ongkos perjalanan dan memberikan kembalian dengan tepat, sehingga penumpang tidak perlu khawatir kekurangan uang kembalian atau salah bayar.
*Di Stasiun Kereta: Meskipun kartu elektronik sangat umum digunakan, semua stasiun kereta di Jepang tetap menyediakan mesin tiket yang memungkinkan pembelian tiket dengan uang tunai.Â
Pendekatan ini menunjukkan bahwa Jepang tidak memaksa masyarakat untuk sepenuhnya bergantung pada teknologi. Sebaliknya, mereka memberikan kebebasan untuk memilih metode yang paling nyaman sesuai kebutuhan.
Refleksi untuk Indonesia: Belajar dari Jepang
Indonesia, dengan segala kemajuan teknologinya, perlu belajar dari pendekatan Jepang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.Sediakan Alternatif Manual yang Memadai
Fasilitas seperti SPBU, bus, TransJakarta , tempat parkir dan layanan publik lainnya harus tetap menyediakan opsi manual. Tidak semua orang memiliki akses ke teknologi digital, dan dalam kondisi tertentu, uang tunai adalah satu-satunya solusi yang praktis.
2.Teknologi untuk Inklusi, Bukan Eksklusi
Penggunaan teknologi seharusnya tidak menciptakan diskriminasi. Di layanan seperti TransJakarta, JakLingko, atau SPBU, masyarakat yang tidak memiliki kartu elektronik harus tetap bisa dilayani dengan baik.
3.Empati dalam Pelayanan Publik
Pelayanan publik bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal empati. Teknologi harus menjadi alat yang memperkuat prinsip-prinsip keadilan sosial, bukan alat untuk menghilangkan akses masyarakat tertentu.
Teknologi adalah alat yang sangat bermanfaat jika digunakan dengan bijaksana. Namun, ketika teknologi dipaksakan tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, ia justru menciptakan hambatan dan ketidakadilan.Â
Sangatlah penting untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih, tanpa memaksa mereka bergantung sepenuhnya pada teknologi.
Di Indonesia, langkah-langkah seperti menyediakan alternatif pembayaran manual dan memastikan inklusivitas dalam pelayanan publik adalah hal tidak boleh dilupakan sebelum teknologi menguasai kita.Â
Teknologi seharusnya melayani manusia, bukan menjadi alat untuk memperbudak atau menciptakan diskriminasi. Mari belajar agar kita dapat memanfaatkan teknologi dengan lebih bijaksana dan manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H