Anda masih bisa membeli tiket bus, trem, atau kereta menggunakan uang tunai. Mesin-mesin pembayaran di tempat umum seperti stasiun kereta atau halte bus tidak hanya menerima kartu elektronik tetapi juga uang kertas dan koin, lengkap dengan kembalian yang akurat. Bahkan di supermarket, restoran, atau toko serba ada, mesin kasir otomatis memungkinkan pelanggan membayar dengan uang tunai tanpa perlu khawatir tentang salah perhitungan atau kembalian yang kurang.
Hal ini menunjukkan bagaimana Jepang menjaga keseimbangan antara modernitas dan tradisi. Keberadaan uang tunai sebagai opsi pembayaran adalah bentuk penghormatan terhadap keragaman kebutuhan masyarakat, termasuk mereka yang mungkin tidak terbiasa atau tidak nyaman dengan metode pembayaran elektronik.
Mesin Kasir yang Transparan dan Efisien
Salah satu inovasi yang mendukung kejujuran dalam transaksi di Jepang adalah mesin kasir otomatis yang bisa menerima uang kertas maupun uang koin. Mesin ini menghitung total pembayaran secara tepat dan memberikan kembalian hingga yen terakhir. Tidak hanya praktis, sistem ini juga menghilangkan kekhawatiran akan kesalahan perhitungan yang sering terjadi dalam transaksi manual.
Sebagai contoh, jika Anda makan di restoran dan membayar dengan uang tunai, Anda hanya perlu memasukkan uang ke dalam mesin kasir, dan mesin akan memberikan kembalian sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Hal ini membuat pelanggan merasa dihormati dan percaya bahwa hak mereka benar-benar dihargai.
Keunggulan Sistem Uang di Jepang
Denominasi yang Sederhana dan Praktis
Sistem denominasi yen dirancang untuk memudahkan pengguna. Uang kertas hanya terdiri dari tiga nilai utama: 1.000, 5.000, dan 10.000. Sementara itu, uang logam memiliki nilai mulai dari 1 hingga 500. Tidak adanya denominasi yang terlalu kecil atau pecahan desimal membuat sistem ini sangat praktis dan meminimalkan kebingungan dalam perhitungan.
Harga yang Selalu Jelas
Harga di Jepang tidak pernah menggunakan angka yang rumit seperti 18.999 atau 791,50. Semua harga disesuaikan dengan denominasi terkecil, yaitu 1. Jika suatu barang dijual dengan harga 791, maka pelanggan hanya perlu membayar jumlah itu, dan kembalian diberikan secara akurat. Tidak ada pembulatan yang merugikan pelanggan atau menguntungkan penjual secara sepihak.
Sebaliknya, di banyak negara, termasuk Indonesia, pembulatan harga adalah hal yang umum. Misalnya, barang dengan harga Rp28.900 sering dibulatkan menjadi Rp29.000, atau harga bensin Rp18.200 dibulatkan menjadi Rp19.000. Pembulatan semacam ini, meskipun terlihat sepele, sering kali merugikan pelanggan dan menciptakan ketidakpercayaan dalam sistem transaksi.