Topi tradisional Kyrgyz, Kalpak, bukan hanya aksesori biasa; ia adalah simbol identitas budaya yang kuat dan memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Kyrgyz.
Dalam perjalanan saya mengembara ke berbagai negeri di  Asia Tengah, saya sempat berinteraksi dengan Kalpak dalam beberapa kesempatan: baik melihat orang-orang memakainya dalam perjalanan naik ke bukit, membelinya di pasar, maupun  mendapatkannya sebagai sebuah  hadiah yang penuh makna. Topi tradisional ini seakan-akan  menghubungkan saya dengan tiga dunia yang berbeda: Kyrgyzstan, Tajikistan dan Vietnam.
Mendapatkan Kalpak di Osh, Kyrgyzstan
Dalam perjalanan  ke Atap Dunia, kami sempat mampir ke  kota Osh, salah satu kota terbesar di Kyrgyzstan yang menjadi awal rute Pamir Highway yang membentang ribuan kilometer sampai di Dushanbe, ibu kota Tajikistan .
Di Osh ini, ketika menjelajah dan mendaki Sulaiman Too, bukit atau gunung yang paling suci di kota ini, saya banyak sekali melihat lelaki setengah baya atau usia lanjut yang mengenakan topi khas yang unik. Â Di sinilah saya pertama kali mengenal kalpak.
Karena itu, ketika mampir ke Osh Bazaar, pasar tradisionalnya yang ramai dan hidup, saya tidak lupa membeli topi ini untuk kenang-kenangan, tanpa ada keinginan sekalipun untuk memakainya. Maklum bentuknya yang tinggi dan unik. Di sinilah saya membeli Kalpak pertama saya.
Di Bazaar ini, di sebuah toko suvenir, dipajang dertah tooi Kalpak yang terbuat dari wol dengan desain yang sangat indah. Warnanya putih kombinasi hitam dengan motif  geometris yang dihiasi dengan benang bening dan pola khas yang mencerminkan alam dan budaya Kyrgyz cantik.  Tak hanya itu, setiap topi yang dipajang di toko itu seolah menceritakan kisahnya sendiri---tentang pegunungan tinggi, perjalanan panjang, dan kehidupan nomaden yang dijalani oleh orang Kyrgyz.
Saya memutuskan untuk membeli Kalpak tersebut sebagai oleh-oleh dari perjalanan saya. Penjualnya menjelaskan bahwa topi itu dibuat secara tradisional oleh para pengrajin lokal, dan meskipun harganya tidak terlalu mahal, topi tersebut mengandung nilai yang sangat dalam---sebagai simbol kehormatan dan persahabatan. Setelah membeli Kalpak, saya merasa bahwa topi ini akan menjadi kenang-kenangan berharga dari Kyrgyzstan yang tak hanya memiliki nilai material, tetapi juga makna budaya yang mendalam.
Hadiah dari Alichur
Setelah membeli Kalpak di Osh, perjalanan kami berlanjut dan akhirnya sempat mampir di Alichur, sebuah desa kecil di wilayah Pamir, Tajikistan. Di desa ini, kami menginap semalam di homestay milik ibu  Nazar.  Di sini rombongan kami disambut  begitu ramah dan hangat.
Saat kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan di Pamir Highway, ayah Nazar memberi kami masing-masing hadiah yang sangat spesial: sebuah Kalpak lagi---tapi kali ini, Kalpak tersebut diberikan langsung kepada kami  sebagai tanda persahabatan.
Ternyata  dalam tradisi Kyrgyz, memberikan Kalpak kepada tamu adalah bentuk penghormatan tertinggi. Ini bukan hanya sekadar hadiah, tetapi juga simbol dari persahabatan yang tulus. Saya merasa sangat tersentuh, mengingat betapa besar kebaikan hati keluarga Nazar. Mereka menerima kami dengan tangan terbuka, dan pemberian Kalpak ini membuat saya merasa lebih dekat dengan mereka, meskipun kami berasal dari dunia yang sangat berbeda.
Saya mengenakan Kalpak ini dengan bangga, dan bersama kami berfoto di depan yurt tradisional sebelum akhirnya melanjutkan pengembaraan yang masih cukup panjang. Sepanjang perjalanan, kalpak ini mengingatkan saya pada keramahan yang kami rasakan  di Alichur. Sungguh, kedua topi yang saya miliki---yang dibeli di Osh dan yang diberikan oleh Ayah Nazar---memiliki makna yang sangat berbeda, namun sama-sama melambangkan hubungan yang terjalin antar budaya yang berjarak jauh.
Perjalanan ke Vietnam dan Sapa
Setelah meninggalkan Asia Tengah, saya melanjutkan perjalanan ke Vietnam, di mana saya sempat mampir beberapa hari di Hanoi sebelum akhirnya menuju Sapa, di sebelah utara negeri Vietnam.
Sapa, dengan pemandangan pegunungan yang indah dan udara dinginnya, adalah tempat yang sangat berbeda dari Alichur dan Osh, namun saya membawa Kalpak saya ke sana---sebuah simbol dari pengalaman saya di Kyrgyzstan.
Karena kebetulan kepala saya mengalami sedikit luka dan harus diperban akibat insiden di Hanoi, maka saya memakai Kalpak  untuk menutupi perban itu.
Di Sapa, saya mengenakan Kalpak Kyrgyz yang diberikan oleh Ayah Nazar di Alichur, saat berjalan-jalan melalui terasering sawah yang hijau dan berinteraksi dengan penduduk lokal maupun wisatawan asing dari berbagai negara.
Banyak orang yang tertarik dengan topi tradisional tersebut dan bertanya tentang asal-usulnya. Saya dengan senang hati menceritakan kisahnya---tentang pasar di Osh, perjalanan saya di Pamir, dan keramahan luar biasa yang kami rasakan  di Alichur.
Meskipun Sapa dan Alichur terletak di belahan dunia yang berbeda, ada kesamaan yang sangat mendalam antara kedua  tempat ini. Kedua wilayah ini berada di pegunungan yang tinggi, dengan cuaca yang dingin dan kehidupan yang sangat bergantung pada alam. Kalpak menjadi penghubung simbolis yang mempertemukan dua budaya ini, meskipun terpisah jarak ribuan kilometer.
Kenangan dan Makna di Balik Kalpak
Bagi saya, Kalpak bukan hanya sebuah topi. Itu adalah kenang-kenangan yang mengingatkan saya akan pengalaman saya di Asia Tengah, baik di Osh yang penuh warna maupun di Alichur yang damai. Topi ini juga mengingatkan saya akan kebaikan hati orang-orang yang saya temui sepanjang perjalanan, terutama Ayah Nazar yang memberi saya Kalpak sebagai hadiah persahabatan.
Saat mengenakan Kalpak itu di Sapa, saya merasa bahwa saya membawa sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah benda. Topi itu menjadi simbol dari persahabatan yang terjalin di dunia yang penuh perbedaan. Di Vietnam, meskipun saya berasal dari dunia yang sangat jauh dan berbeda, Kalpak mengingatkan saya akan pentingnya membuka diri terhadap budaya lain, serta nilai-nilai persahabatan dan keramah-tamahan yang bisa kita temui di mana saja.
Setelah kembali ke Indonesia, saya tetap menyimpan Kalpak tersebut sebagai kenangan berharga. Setiap kali melihatnya, saya teringat akan petualangan saya di Asia Tengah dan perjalanan ke Sapa, serta semua orang yang saya temui sepanjang jalan.
Kalpak ini lebih dari sekadar kenang-kenangan; ia adalah simbol dari perjalanan panjang yang menghubungkan saya dengan budaya yang jauh, mengingatkan saya bahwa meskipun kita berasal dari tempat yang sangat berbeda, kita semua bisa terhubung melalui keramahan, persahabatan, dan saling menghargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H