Hujan turun deras malam itu, membasahi jalan kecil di depan rumah sederhana keluarga Pak Rahmat. Lampu di ruang tamu redup, menciptakan bayangan-bayangan samar di dinding. Bu Siti duduk terpekur di atas sajadahnya, tubuhnya terasa lemah. Air mata tak kunjung berhenti membasahi pipinya. Dalam benaknya, ia terus memutar ulang kenangan pahit itu---kenangan bagaimana mimpi mereka sekeluarga menuju Tanah Suci hancur lebur.
Pak Rahmat, suaminya, hanya duduk diam di kursi tua di sudut ruangan. Rambutnya mulai memutih, tanda usia yang semakin menua. Lelaki itu menatap ke luar jendela, mendengarkan gemuruh hujan yang seperti menyuarakan isi hatinya. Ia sudah pensiun lima tahun lalu, setelah lebih dari tiga dekade mengabdi sebagai guru sekolah dasar. Kini, setelah hampir 27 tahun menikah, ia menyaksikan istrinya tenggelam dalam kesedihan yang sama sekali tidak bisa ia redakan.
Di sudut lain ruangan, Fitri, putri semata wayang mereka yang kini berusia 17 tahun, duduk bersandar di dinding. Matanya berkaca-kaca melihat kedua orang tuanya yang dilanda kesedihan. Ia ingin membantu, tapi tak tahu bagaimana caranya.
"Bu, makan dulu," suara Pak Rahmat pelan, mencoba memecah keheningan.
Bu Siti diam seribu bahasa tidak menjawab. Ia masih membisu  di atas sajadah, memeluk lututnya sendiri seperti seorang anak kecil yang mencari perlindungan.
"Bu, tolong," pinta Pak Rahmat lagi, kali ini lebih lembut.
Bu Siti mengangkat wajahnya. Mata sembabnya menatap suaminya dengan pandangan kosong.
 "Pak... apa kita salah? Apa rindu kita ke Tanah Suci terlalu berlebihan sampai Allah tidak meridhoi?"
Pak Rahmat menggeleng, mendekat dan duduk di samping istrinya.
 "Bu, jangan berpikir begitu. Allah tahu niat kita. Ujian ini bukan karena kita salah. Ini cara Allah menguatkan kita."
"Tapi Pak," Siti terisak, "Uang itu... Kalau dihitung-hitung setara dengan lebih dari lima tahun gaji pensiun Bapak. Kita nabung bertahun-tahun. Setiap bulan nyisihin dari jualan gado-gado, dari kerja lembur, bahkan dari uang Fitri buat les. Semuanya buat ke Tanah Suci. Tapi sekarang malah hilang begitu aja."
Fitri bangkit dari tempat duduknya dan ikut mendekat.
 "Bu, aku nggak apa-apa kok kalau lesku berhenti. Aku cuma sedih lihat Ibu sama Bapak kayak gini."
Bu Siti memeluk anaknya erat. "Maafkan Ibu, Nak. Harusnya Ibu lebih hati-hati waktu pilih travel. Ibu terlalu percaya sama iklan di media sosial itu. Mereka janji harga diskon, testimoni bagus, katanya banyak yang puas..." Suaranya terputus oleh isakan. "Bahkan para selebgram dan ustaz terkenal pun ikut testimoni."
Pak Rahmat mengusap bahu istrinya.Â
"Bu, kita udah coba semua. Kita telepon, mereka nggak jawab. Kita datang ke kantornya, ternyata udah tutup. Polisi juga bilang kita harus sabar karena kasusnya panjang. Tapi aku percaya, Allah nggak pernah tidur. Orang-orang yang menipu itu pasti akan menerima balasannya."
Siti mengangguk lemah, tapi di dalam hatinya, kemarahan masih membara. Ia pernah membaca di media sosial bagaimana para pelaku penipuan ini hidup mewah dengan mobil mewah dan rumah besar, semua dari uang hasil menipu orang-orang yang ingin beribadah.
"Mereka lebih kejam daripada pencuri, Pak. Kalau pencuri cuma ambil barang, mereka ini ambil harapan kita. Mereka tega menipu orang yang rindu Allah, yang ingin ibadah. Apa mereka nggak takut sama azab?"
Pak Rahmat terdiam, tak mampu menjawab. Ia pun menyimpan kemarahan yang sama, tapi ia tahu membiarkan amarah menguasai hanya akan memperburuk keadaan.
Fitri menatap kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca.Â
"Bu, Bapak... uang kita memang hilang, tapi aku yakin Allah masih sayang sama kita. Kita masih bisa nabung lagi. Aku mau bantu. Aku juga bisa kerja part-time nanti kalau sudah lulus sekolah."
Bu Siti tersenyum kecil di tengah tangisnya.Â
"Fitri... kamu anak yang baik. Ibu nggak pernah nyesal punya kamu. Maafkan Ibu ya, Nak, kalau Ibu terlalu larut dalam kesedihan."
"Fitri benar, Bu," ujar Pak Rahmat. "Kita bisa mulai lagi. Kita memang nggak tahu kapan bisa ke Tanah Suci, tapi aku yakin rindu kita nggak akan sia-sia. Allah pasti punya rencana yang lebih baik."
BunSiti mengusap air matanya. Kata-kata suami dan anaknya seperti memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya hati yang terluka. Ia tahu bahwa kesedihan ini tidak boleh terus-menerus menguasainya.
Malam itu, keluarga kecil itu berdoa bersama, meminta kekuatan dari Allah untuk menerima ujian ini dengan ikhlas. Mereka berdoa agar para pelaku penipuan bertaubat, dan agar mereka sendiri diberi jalan untuk suatu hari bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Hujan mulai reda. Di luar jendela, bulan muncul perlahan dari balik awan, memberikan sedikit cahaya di malam yang gelap. Meski uang mereka telah hilang dan perjalanan mereka tertunda, cinta dan harapan di antara mereka tetap utuh.
Di dalam hati, Bu Siti tahu satu hal: rindu mereka kepada Tanah Suci tidak akan pernah memudar. Suatu hari, meskipun tidak tahu kapan, ia percaya Allah akan menjawab rindu itu dengan cara-Nya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H