Fitri bangkit dari tempat duduknya dan ikut mendekat.
 "Bu, aku nggak apa-apa kok kalau lesku berhenti. Aku cuma sedih lihat Ibu sama Bapak kayak gini."
Bu Siti memeluk anaknya erat. "Maafkan Ibu, Nak. Harusnya Ibu lebih hati-hati waktu pilih travel. Ibu terlalu percaya sama iklan di media sosial itu. Mereka janji harga diskon, testimoni bagus, katanya banyak yang puas..." Suaranya terputus oleh isakan. "Bahkan para selebgram dan ustaz terkenal pun ikut testimoni."
Pak Rahmat mengusap bahu istrinya.Â
"Bu, kita udah coba semua. Kita telepon, mereka nggak jawab. Kita datang ke kantornya, ternyata udah tutup. Polisi juga bilang kita harus sabar karena kasusnya panjang. Tapi aku percaya, Allah nggak pernah tidur. Orang-orang yang menipu itu pasti akan menerima balasannya."
Siti mengangguk lemah, tapi di dalam hatinya, kemarahan masih membara. Ia pernah membaca di media sosial bagaimana para pelaku penipuan ini hidup mewah dengan mobil mewah dan rumah besar, semua dari uang hasil menipu orang-orang yang ingin beribadah.
"Mereka lebih kejam daripada pencuri, Pak. Kalau pencuri cuma ambil barang, mereka ini ambil harapan kita. Mereka tega menipu orang yang rindu Allah, yang ingin ibadah. Apa mereka nggak takut sama azab?"
Pak Rahmat terdiam, tak mampu menjawab. Ia pun menyimpan kemarahan yang sama, tapi ia tahu membiarkan amarah menguasai hanya akan memperburuk keadaan.
Fitri menatap kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca.Â
"Bu, Bapak... uang kita memang hilang, tapi aku yakin Allah masih sayang sama kita. Kita masih bisa nabung lagi. Aku mau bantu. Aku juga bisa kerja part-time nanti kalau sudah lulus sekolah."
Bu Siti tersenyum kecil di tengah tangisnya.Â
"Fitri... kamu anak yang baik. Ibu nggak pernah nyesal punya kamu. Maafkan Ibu ya, Nak, kalau Ibu terlalu larut dalam kesedihan."