Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu yang Tertunda

17 Desember 2024   13:23 Diperbarui: 17 Desember 2024   13:23 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan turun deras malam itu, membasahi jalan kecil di depan rumah sederhana keluarga Pak Rahmat. Lampu di ruang tamu redup, menciptakan bayangan-bayangan samar di dinding. Bu Siti duduk terpekur di atas sajadahnya, tubuhnya terasa lemah. Air mata tak kunjung berhenti membasahi pipinya. Dalam benaknya, ia terus memutar ulang kenangan pahit itu---kenangan bagaimana mimpi mereka sekeluarga menuju Tanah Suci hancur lebur.

Pak Rahmat, suaminya, hanya duduk diam di kursi tua di sudut ruangan. Rambutnya mulai memutih, tanda usia yang semakin menua. Lelaki itu menatap ke luar jendela, mendengarkan gemuruh hujan yang seperti menyuarakan isi hatinya. Ia sudah pensiun lima tahun lalu, setelah lebih dari tiga dekade mengabdi sebagai guru sekolah dasar. Kini, setelah hampir 27 tahun menikah, ia menyaksikan istrinya tenggelam dalam kesedihan yang sama sekali tidak bisa ia redakan.

Di sudut lain ruangan, Fitri, putri semata wayang mereka yang kini berusia 17 tahun, duduk bersandar di dinding. Matanya berkaca-kaca melihat kedua orang tuanya yang dilanda kesedihan. Ia ingin membantu, tapi tak tahu bagaimana caranya.

"Bu, makan dulu," suara Pak Rahmat pelan, mencoba memecah keheningan.
Bu Siti diam seribu bahasa tidak menjawab. Ia masih membisu  di atas sajadah, memeluk lututnya sendiri seperti seorang anak kecil yang mencari perlindungan.

"Bu, tolong," pinta Pak Rahmat lagi, kali ini lebih lembut.

Bu Siti mengangkat wajahnya. Mata sembabnya menatap suaminya dengan pandangan kosong.

 "Pak... apa kita salah? Apa rindu kita ke Tanah Suci terlalu berlebihan sampai Allah tidak meridhoi?"

Pak Rahmat menggeleng, mendekat dan duduk di samping istrinya.

 "Bu, jangan berpikir begitu. Allah tahu niat kita. Ujian ini bukan karena kita salah. Ini cara Allah menguatkan kita."

"Tapi Pak," Siti terisak, "Uang itu... Kalau dihitung-hitung setara dengan lebih dari lima tahun gaji pensiun Bapak. Kita nabung bertahun-tahun. Setiap bulan nyisihin dari jualan gado-gado, dari kerja lembur, bahkan dari uang Fitri buat les. Semuanya buat ke Tanah Suci. Tapi sekarang malah hilang begitu aja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun