Restoran ini ternyata lumayan besar dan bertingkat dua walau gedungnya bertingkat cukup tinggi. Â Kebetulan saat itu sedang tidak ada pelanggan lain.
Kami duduk di meja bundar di tengah dan kemudian seorang gadis langsung menyambut dan membawa menu. Â Untungnya gadis nya lumayan bisa berbahasa Inggris.
Kami memesan roti nan yang betinanya bulat dan tentu saja beberapa tusuk sate domba alias shashlik serta sayur yang mirip capcay.
Sebagaimana di restoran Xinjiang di sini juga tersedia Laghman atau Lamien, nasi plov dan juga sup daging. Untuk minumnya kami memesan teh hangat yang harum dan segar.
Sambil menunggu Shashlik yang sedang dibakar, saya memperhatikan interior restoran ini.  Banyak dekorasi khas Xinjiang berupa hiasan dan  lukisan yang menggambarkan budaya  Uyghur dan pemandangan Xinjiang yang memukau.
Sebagian besar karyawan, termasuk lelaki yang menyiapkan shashlik adalah etnis Uyghur, hal ini dapat diamati ketika mereka saling  berbicara. Sebagian  lagi mungkin etnis Hui atau Han.
Tidak lama kemudian, muncul beberapa tusuk shashlik yang masih hangat. Hidangan ini berupa daging domba yang dipanggang dan dibumbui dengan rempah khas. Dagingnya lembut, beraroma, dan memiliki rasa gurih yang pas, sangat memuaskan bagi pecinta kuliner daging. Â Dalam waktu singkat sate dengan tusuk dari logam yang panjang dan sekilas mirip pedang kecil ini langsung ludes, sehingga kami memesan beberapa tusuk lagi.
Selain itu juga hadir sepotong Nan, Roti pipih tradisional yang lembut di dalam namun renyah di luar, cocok sebagai pelengkap shashlik, apalagi dihidangkan masih dalam keadaan hangat.
Sebagai tambahan, satu porsi  capcai berupa campuran sayuran segar ini memberikan sentuhan rasa yang lebih ringan dan melengkapi hidangan daging dan roti.