Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pagi di Borobudur

29 Oktober 2024   10:45 Diperbarui: 29 Oktober 2024   11:59 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari masih pagi sekitar pukul 6.30 pagi ketika kami meninggalkan Omah Garengpoeng menuju ke Candi Borobudur.  


Rombongan terdiri dari dua kendaraan, saya bersama Bang Erwin dan Bu Lily, tuan rumah Omah Garengpoeng, dan kendaraan satu lagi mengangkut  Dokter Janti Silman dan kawan-kawan.

 Kantor Balai Konservasi : dokpri
 Kantor Balai Konservasi : dokpri


Tujuan pertama adalah ke kantor Balai Konservasi Borobudur.  Di sini kami disambut oleh Iwan Kurniawan, yang sudah dianggap sebagai anak angkat oleh dokter Yanti. Di sini kami dijamu oleh makanan ringan dan dibagikan sandal khusus yang akan digunakan ketika menaiki candi. Uniknya di kantor ini pula saya pertama kali melihat  foto Presiden dan wakil Presiden baru kita.

Pintu VVIP: dokpri
Pintu VVIP: dokpri


Tidak berlama-lama, kendaraan segera menuju pintu masuk zona 1 Borobudur yang hanya didinaskan untuk tamu VVIP, ambulans dan pemadam kebakaran.  Dari pintu ini, sebuah kendaraan listrik sudah menunggu untuk membawa rombongan kecil kami menuju kawasan kaki candi.

Kemdaraan Listrik: dokpri
Kemdaraan Listrik: dokpri


Di sini terdapat sebuah tenda warna putih yang dipersiapkan seandainya rombongan Presiden dan para menteri yang sedang berkumpul di Magelang juga akan mampir ke Borobudur.

Berfotosejenak: dokpri
Berfotosejenak: dokpri


Dari sini kemegahan Candi Borobudur sudah dapat dinikmati walau dari kejauhan.


Kami kemudian mendekati bangunan candi dan siap untuk mendaki peninggalan bersejarah yang sudah berusia lebih seribu dua ratus atau tiga ratus tahun ini. Di sini Bu Rini, istri Pak Iwan Kurniawan juga ikut bergabung untuk naik ke candi.

Uniknya lagi, sebagian besar peserta telah berusia cukup lanjut yaitu diatas 60, 70, dan bahkan ada yang berusia 80 tahun. Namun dengan tetap bersemangat satu demi satu tangga candi dapat dilalui.

Tangga candi : dokpri
Tangga candi : dokpri


Pagi itu, sinar mentari yang lembut baru saja menggantikan  embun pagi yang menyelimuti Candi Borobudur. Sinar  matahari pagi perlahan menyinari puncak stupa. Kami merasa beruntung karena diizinkan memasuki Borobudur lebih awal, sebelum rombongan pengunjung lain datang. Hanya ada suara langkah kaki kami di tangga batu yang berusia ratusan tahun ini, dan pengalaman itu terasa sangat istimewa.

 Naik tangga: dokpri
 Naik tangga: dokpri


Saat mendaki tangga-tangga candi, setiap langkah membawa perasaan kagum dan penghormatan. Candi Borobudur memang luar biasa, dihiasi dengan relief yang menceritakan kisah-kisah Buddha dan kehidupan masa lalu. 

Tanpa keramaian, kami bisa berhenti di setiap lantai untuk mengamati relief dengan lebih dekat dan lebih mendalam, benar-benar menikmati keindahan dan detailnya. Seakan-akan kami terhubung dengan masa lalu, dengan suasana mistis dan spiritual yang memenuhi tempat itu.

Patung Singa: dokpri
Patung Singa: dokpri


Ketika mencapai puncak, pemandangan yang tersaji di hadapan kami sungguh tak ternilai. Kabut pagi yang perlahan menghilang, memperlihatkan lanskap perbukitan yang hijau di sekitarnya. 

Dari stupa tertinggi, kami bisa melihat seluruh candi yang berdiri megah di tengah alam, dikelilingi oleh hijaunya pegunungan dan sawah-sawah. Matahari pagi semakin tinggi, cahayanya menyinari stupa-stupa kecil di sekitar kami, menciptakan bayangan yang membuatnya terlihat semakin indah dan misterius.

Deretan stupa: dokpri
Deretan stupa: dokpri


"Candi Borobudur ini dikelilingi delapan gunung," demikian penjelasan Pak Iwan sambil menyebut nama-nama gunung itu, antara lain Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing Sindoro, Menoreh dan Tidar.

Dari sini pula kita bisa melihat Hotel Amanjiwo, salah satu hotel mewah di sekitar Borobudur dan juga Punthuk Setumbu, salah satu tempat menarik untuk melihat matahari terbit dengan latar belakang candi Borobudur.

Stupa induk : dokpri
Stupa induk : dokpri


Berada di tingkat paling atas Borobudur dengan latar pemandangan stupa induk dengan hanya  rombongan kecik kami yang terdiri dari 8 orang,  memberikan kesempatan untuk menikmati ketenangan, merefleksikan makna dari candi ini, dan benar-benar merasakan pengalaman spiritual yang mungkin tak bisa dirasakan dalam keramaian.

Sejenak kami terdiam, menghirup udara segar pagi dan menikmati momen-momen hening itu. Rasanya Borobudur berbicara kepada kami, bercerita tentang sejarah, keagungan, dan kedamaian yang terpancar dari setiap batu yang tersusun rapi.

Stupa dan stupa: dokpri
Stupa dan stupa: dokpri


Saya menikmati momen demi momen dengan melakukan pradaksina, yaitu gerakan jalan searah jarum jam mengelilingi baik stupa paling atas maupun deretan stupa di arupadatu.  

pak Iwan kemudian meminta kami turun dua tingkat untuk sampai di sudut tenggara candi dan menikmati vista stupa induk yang dikelilingi stupa stupa yang menakjubkan. Salah satu stupa bibi Arman terbuka dengan patung Buddha yang sedang bersila.

Kemudian dikisahkan juga tentang peristiwa kelam pada 1985 ketika ada letusan bom di candi ini yang merusak beberapa stupa di kawasan ini.  

Cerita yang tidak kalah menarik adalah ketika membahas tentang mitos Kuntobimo, yaitu kepercayaan masyarakat lokal bahwa pengunjung yang berhasil menyentuh bagian tertentu dari patung Buddha yang ada di dalam stupa akan memperoleh kebergantungan.

Namun sekarang pengunjung sudah dilarang untuk menginjak stupa, apalagi memasukkan tangan melewati relung berbentuk belah ketupat untuk menyebut patung.  Pak Iwan juga sempat bercerita tentang insiden yang terjadi pada 2010 ketika kepala seorang balita sempat masuk ke dalam stupa ketika orang tuanya sibuk ingin menyentuh patung.

Relief dan pradaksina: dokpri
Relief dan pradaksina: dokpri


Puas berada di tingkat Arupadatu, kami mulai turun setingkat demi setingkat.  Saya sendiri memanfaatkan waktu ini untuk kembali berjalan searah jarum jam sambil menikmati relief yang ada. Berputar di tingkat demi tingkat ini memerlukan waktu lebih lama dibandingkan melakukan hal yang sama su bagian atas.  

Konon relief relief ini memberitakan kehidupan sang Buddha yang terbagi dalam beberapa episode. Tapi saya tidak punya banyak waktu untuk menikmatinya dengan seksama. Namun kesunyian dan keheningan ketika berada di lorong-lorong di antara relief di dinding candi dan di pagar langkan, terkadang membuat diri seakan akan tidak sendiri.  Seakan-akan ada makhluk lain yang terus mengawasi keberadaan saya di sana.

Pradaksina menjadi cara untuk merasakan Borobudur dengan cara yang lebih mendalam. Ritual ini membuka pintu bagi saya  untuk tidak hanya menikmati arsitektur candi, tetapi juga memahami Borobudur sebagai pusat spiritual yang membawa nilai universal tentang kedamaian, kebijaksanaan, dan penghormatan terhadap kehidupan.

Pradaksina di Borobudur bukan sekadar kegiatan ritual; ini adalah perjalanan jiwa yang melintasi waktu, menghubungkan  masa kini dengan masa ketika candi ini  dibangun  berabad-abad silam. Pradaksina adalah simbol dari perjalanan setiap manusia, sebuah perjalanan untuk memahami kehidupan, melepas keinginan, dan meraih pencerahan batin.

Tidak terasa saya sudah berada kembali di tingkat pertama, dimana terdapat sepasang singa yang ukiran nya seperti belum selesai. Menurut pak Iwan, kondisi sepasang singa itu memang seperti itu dan buka karena sudah aus dimakan zaman.

 Prasasti: dokpri
 Prasasti: dokpri


Setelah kembali turun ke pelayaran candi, saya mulai melihat-lihat prasasti yang ditandatangani Presiden Soeharto sebagai tanda peresmian restorasi Borobudur pada 1983. Juga ada lagi sebuah prasasti yang berisi nama-nama pekerja dan tim yang memungkinkan restorasi itu selesai. Uniknya prasasti ini baru dibuat dan ditandatangani oleh menteri Nadiem Makarim pada September 2022.

Daftar nama: dokpri
Daftar nama: dokpri


Tidak jauh, ada  lagi sebuah monumen berbentuk tugu kecil yang merupakan peringatan atas pekerja yang membersihkan  candi Borobudur dari debu akibat erupsi Merapi pada 2010.

Monumen Erupsi: dokpri
Monumen Erupsi: dokpri


Sekitar pukul 9 pagi, pengunjung Borobudur mulai berdatangan, tiba waktunya bagi kami untuk meninggalkan kawasan candi.

Ketika meninggalkan candi untuk kembali ke Omah Garengpoeng , ada perasaan damai dan bahagia yang sulit dijelaskan. Sempat mampir ke  puncak Borobudur, hanya dengan rombongan kecil di pagi hari, adalah pengalaman yang tidak terlupakan---sebuah perjalanan spiritual dan visual yang menghubungkan kami dengan warisan budaya dan sejarah yang maha agung dan indah.  

Yuk lihat perjalanan ke Borobudur di sini :


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun