Tiba tiba saja, langit menjadi gelap dan saya dan saya terkapar di jalan raya tepat di depan Street Mural di Old Quarter, Hanoi.
Kalau beberapa menit sebelumnya saya menikmati dengan Sukacita lukisan mau malam ini di tembok kota tua Hanoi, kini terasa darah mengalir dari kepala yang  terbentur aspal. Sejenak saya merasa berada di alam lain.
Orang ramai berkerumun mengelilingi. Seseorang memegang luka di kepala dengan es agar darah berhenti mengalir. Â Belum sepenuhnya sadar akan apa yang telah terjadi, orang di sekitar bertanya dan menegur dalam bahasa Vietnam yang tidak saya mengerti.
"Hospital, ambulance," demikian yang saya dengar dari seorang polisi berseragam hijau hijau. Dia seakan akan bertanya apa saya ingin dipanggilkan ambulans untuk dibawah ke rumah sakit. Â Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan lemah. Sebelumnya lelaki berusia hampir 60 tahunan yang mengenakan celana pendek dan yang juga menempelkan es yang kemudian saya ketahui sebagai pengemudi sepeda motor yang menabrak saya sempat menawarkan beberapa lembar uang ratusan ribu Dong kepada saya. Â Baru belakangan saya sadar bahwa jika saya menerima uang itu, saya menghentikan kasusnya. Â Karena saya menggangguk untuk diajak ke rumah sakit oleh polisi, lelaki itu lah yang akan membayar biaya rumah sakit.tidak lama sebuah ambulans dengan sirine yang mengaung tiba. Dua orang perawat dengan sigap membantu saya naik ke dalamnya.
Ah betapa tidak berdayanya saya, berada dalam ambulans menuju ke rumah sakit yang saya bahkan tidak tahu dimana, di ibukota Vietnam ini.
Sesampainya di rumah sakit. Dengan bantuan kursi roda saya dibawa menuju ke ruang Instalasi Gawat Darurat dan kemudian dipindahkan ke tempat tidur beroda. Â Suasana ruangan cukup ramai dengan pasien dalam berbagai kondisi yang berbeda. Ada yang kesakitan, ada yang terdiam dan ada juga yang termenung seperti saya. Saya masih termenung kenapa bisa berada di sini, bahkan saya tidak ingat kalau tertabrak sepeda motor.
Seorang suster perawat menyambut dengan alat Gl tensi darah dan banyak bertanya-tanya dalam bahasa Vietnam. Menyadari kalau saya tidak mengerti, seorang dokter berusia muda berbicara dalam bahasa Inggris. Â Dokter ini pula yang kemudian membawakan sebuah formulir dalam bahasa Vietnam dan membantu saya mengisi nama, tanggal lahir dan alamat di Hanoi.
Setelah memeriksa luka di kepala dan juga menanyakan mana lagi yang sakit termasuk beberapa jari tangan kanan yang memar membiru, dokter menyarankan untuk CT Scan dan juga X Ray untuk tangan kanan. Â
Menunggu sekitar 15 menit, saya merasa sangat haus sehingga memanggil seorang suster dan dengan bahasa isyarat minta air minum. Â Tidak berapa lama kemudian dia datang dengan membawa gelas plastik kecil berisi air putih. Â
Seorang perawat kemudian membawa saya dengan kursi roda ke ruangan radiologi dan melakukan ronsen dilanjutkan ke ruangan CT Scan atau MRI. Â Setelah itu saya kembali menunggu dan lelaki bercelana pendek kembali menemui, kali ini dia ditemani dengan seorang perempuan yang kemungkinan besar adalah istrinya.
Lelaki itu menanyakan apakah saya belum makan dan kemudian memberikan dua potong roti dalam kemasan yang dibelinya di mini marmer. Â Belum sempat makan siang roti itu dengan lahap disantap. Â
Perempuan tadi terus berbicara dalam bahasa Vietnam dan kemudian membersihkan noda-noda darah di sekitar luka di kepala.
Kemudian saya juga menyadari bahwa kaki kiri sekitar tulang kering terasa sakit dan menceritakannya kepada perempuan tadi dan perawat. Â Akhirnya diputuskan untuk melakukan X ray lanjutan.
Perawat kemudian membawa ke ruangan lain dan luka di kepala baru dibersihkan diberi obat serta perban yang dililitkan menutupi rambut bagaikan memakai topi atau peci. Â
Kami masih harus menunggu cukup lama untuk mengetahui hasil CT Scan dan X Ray, untungnya semuanya baik baik saja seperti dijelaskan oleh dokter dan perawat. Â
Dokter kemudian memberikan resep obat berupa pil antibiotik yang harus dikonsumsi selama 5 hari dan kemudian diambil oleh perempuan tadi. Rupanya dia pula yang membayarkan seluruh biaya di rumah sakit. Â
Setelah sejenak mencicipi bagaimana rasanya berada di rumah sakit di Hanoi sekitar 3 jam, akhirnya saya diperbolehkan pulang untuk beristirahat di hotel. Â Lelaki bercelana pendek itu pula yang mengantar saya setelah sebelumnya mampir ke kantor polisi.
Sebuah pengalaman yang tidak terlupakan. Setelah menunggalkan rumah sakit dan melihat hasil CT Scan, saya juga baru tahu bahwa rumah sakit tersebut bernama Behn Viehn St. Paul. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H